Dunia pesantren sedang mengalami tantangan yang makin berat. Tahun ini beberapa kejadian di pesantren menyita perhatian masyarakat, terlebih di era dimana ruang tertutup nyaris tidak ada. Kita bagaikan berada dalam gelas kaca yang semua orang dapat melihat dan mengetahui tanpa mampu kita kendalikan.
Kasus besar terjadi di awal tahun di sebuah boarding school (sekolah berasrama) yang kemudian secara serampangan disebut sebagai pesantren di wilayah Bandung Jawa Barat. Seorang pimpinan lembaga (saya tidak mau menyebutnya pesantren) tersebut mencabuli bahkan menghamili murid wanitanya. Bukan hanya satu korbannya, namun beberapa orang, bahkan hingga melahirkan. Alhamdulilah pelakunya sudah dijatuhi hukuman.
Kejadian hampir serupa di sebuah pesantren (kalau ini memang pesantren) di Jombang Jawa Timur. Seorang putra kyai juga mencabuli beberapa santri putrinya dengan tekanan. Sempat tegang karena beberapa kali aparat dihalangi untuk menangkap sang “Gus” oleh pengikut tarekat pimpinan ayahnya. Akhirnya, proses hukum berhasil dijalankan.
Kasus terakhir menimpa Pondok Moderen Gontor Ponorogo Jawa Timur. Seorang santri meninggal dunia konon akibat kekerasan dalam proses pelatihan di pondok tersebut. Betapa pilu hati orang tua santri yang kehilangan putra harapan masa depannya.
Beberapa kejadian diatas memang tidak bisa dipakai untuk menilai pesantren secara keseluruhan yang jumlahnya tidak kurang dari 27.000 di seantero negeri. Meskipun tidak bisa kita pungkiri setiap pesantren pasti menyimpan masalahnya sendiri namun kurang terekspos keluar dinding pesantren.
Biasanya, kawasan pondok santri putri berada satu komplek dengan kediaman kyai pondok. Pertimbangannya tentu soal keamanan. Berada disisi kyai lebih terjamin keamanannya. Namun perkembangan jaman perlu diantisipasi.
Rumah kyai berarti rumah bagi putra-putra sang kyai yang masih muda dan naluriahnya memiliki ketertarikan dengan perempuan di sekitarnya. Sementara akses teknologi kepada konten pornografi bisa terjadi pada para Gus ini.
Disinilah kerawanan terjadi, padahal santri putri berada dalam posisi lemah yang sulit melawan keinginan keluarga kyai.
Dalam pesantren “asli” yang mewarisi tradisi turun temurun saja kerawanan itu bisa terjadi, apalagi pesantren jadi-jadian (pseudo pesantren) dimana tidak ada kyai melainkan hanya pimpinan lembaga yang tentu berbeda jauh kualitas kelimuan dan apalagi spiritualnya.
Pseudo pesantren ini kini makin marak dan memprihatinkan. Padahal perbedaannya dengan pesantren yang “asli” sangat jauh.
Satu, tidak ada figur kyai yang menjadi sentral aktivitas pesantren. Kyai bukan hanya pemimpin dalam keilmuan dan manajemen pondok, namun juga panutan dalam akhlak dan rujukan dalam spiritual. Di boarding school yang ada hanya pimpinan lembaga, tidak harus menjadi panutan dan apalagi rujukan spiritual.
Dua, pesantren dibangun dengan semangat bertumbuh, dari sedikit santri hingga menjadi banyak, bahkan banyak santri yang mendirikan asramanya sendiri. Dalam boarding school, gedung dibangun lebih dahulu, sarana dilengkapi, baru cari murid. Bahkan pimpinan bisa direkrut kemudian. Dan digaji pula.
Tiga, kurikulum pesantren biasanya mengikuti kurikulum pondok tempat sang kyai mengaji dahulu. Maka muncul istilah “pondok cabang” atau “pondok anak” dari sebuah pesantren besar. Dalam boarding school, kurikulum tidak mengacu ke masa lalu namun baru disusun sesuai kajian pendirinya
Empat, pesantren biasanya tidak mematok biaya mondok yang tinggi, berbeda dengan boarding school yang biasanya biayanya fantastis
Itulah beberapa perbedaan pesantren yang kini terdapat rujukan undang-undannya dengan pseudo pesantren yang banyak bermunculan kini. Semoga tulisan sederhana ini bisa membaw kita merenungkan lebih jauh posisi dan peran pesantren di era 4.0 ini.
Oleh: KH. Jamaluddin F Hasyim, Ketua KODI DKI Jakarta