Sejarah umat manusia adalah sejarah penderitaan , tulis Peter L. Berger dalam bukunya Piramida Kurban Manusia (1974). Dalam wujud yang paling dahsyat penderitaan manusia yang disebabkan alam seperti gempa bumi, gunung meletus, wabah penyakit dan sebagainya akan muncul dalam catatan sejarah. Lalu, bagaimana dengan penderitaan manusia yang disebabkan oleh sesama manusia?
Sayangnya, penderitaan manusia yang disebabkan oleh sesama manusia biasanya tidak terlalu disorot, bila tidak mau memakai kata disepelekan. Terlebih bila penderitaan ini adalah bagian dari rangkaian peristiwa besar atau yang menentukan dalam sejarah. Rumus yang lazim digunakan untuk memberikan pembenaran semacam itu kira-kira sebagai berikut: “Peristiwa X menyebabkan penderitaan besar bagi banyak orang yang mengalaminya pada waktu itu, tetapi akhirnya membawa suatu kebaikan, karena peristiwa itu menimbulkan peristiwa Y”.
Buku ini ditulis kala kapitalisme dan sosialisme berada pada puncak perselisihannya. Di tengah perselisihan tersebut kemudian Berger hadir untuk menyerang kedua sisi. Kasus Brazil dan Tiongkok yang ditulis buku ini adalah contoh bagus guna menggambarkan bagaimana kedua model pembangunan tersebut memberikan harapan, mimpi, dan cita-cita untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi umat manusia. Namun, untuk mewujudkan hal tersebut setidaknya ada biaya-biaya manusiawi (human costs) yang harus dikurbankan baik dalam bentuk fisik maupun non-fisik.
Piala Dunia Qatar 2022
Suatu malam di Bulan Desember (2010) jalanan di Doha, Ibukota Qatar dipenuhi oleh kerumunan orang yang merayakan terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Namun, sejak perayan tersebut menurut laporan The Guardian setidaknya 6.500 pekerja migran telah meninggal di Qatar.
Data dari kedutaan besar India, Bangladesh, Nepal, dan Sri Lanka melaporkan ada sekitar 5.927 pekerja migran yang meninggal dari negara mereka selama periode 2011-2020. Lalu, data dari kedutaan besar Pakistan menyebutkan ada 824 pekerja dari Pakistan meninggal di Qatar selama periode 2010-2020. Tentu jumlah ini masih bisa bertambah, karena angka ini belum termasuk dengan kematian para pekerja migran dari negara lain yang juga memiliki jumlah pekerja yang signifikan di Qatar seperti Filipina dan Kenya.
Meski tidak merincikan jenis pekerjaan dan tempat bekerja para pekerja migran yang meninggal, namun Nick McGeehan selaku direktur FairSquare Projects yang merupakan kelompok advokasi hak-hak buruh di negara Teluk menyebutkan bahwa kemungkinan banyak pekerja yang meninggal dipekerjakan pada proyek infrstruktur piala dunia.
Pada sisi yang lain sepakat atau tidak, di masa kini pesta olahraga baik itu Olimpiade, Piala Dunia Sepakbola, seri F1, seri MotoGP, dan ajang olahraga populer lainnya sudah menjadi panggung bagi setiap negara untuk memamerkan kekuatan dan kemegahan negara mereka. Lalu, sepakbola sebagai salah satu cabang olahraga yang paling banyak ditonton oleh masyarakat dunia tentu adalah panggung yang besar bagi setiap negara yang ditunjuk sebagai tuan rumah Piala Dunia Sepakbola.
Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 tidak main-main untuk menyukseskan acara ini, dalam 10 tahun terakhir banyak proyek infrastruktur yang telah selesai dan juga masih dikerjakan di Qatar seperti stadion baru, bandara, jalan raya, hotel, dan lainnya. Tapi apakah keinginan untuk menyukseskan acara ini juga harus dibayar dengan kematian para pekerja? Yang bila mengikuti rumus di atas bisa saja kematian mereka dipandang sebelah mata, lalu tertutup dengan kesuksesan penyelenggaraan.
Human costs dalam bentuk fisik setidaknya dapat untuk dihitung misalnya jumlah pekerja yang meninggal, lalu berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk setidaknya memberikan kompensasi atau santunan kepada keluarga yang ditinggalkan. Tapi bagaimana menghitung human costs dalam bentuk non-fisik seperti kepedihan dan duka cita keluarga yang ditinggalkan, hal yang mustahil dapat diganti dan dihitung.
Satu nyawa terlalu banyak untuk satu piala dunia. Karenanya meski piala dunia tersebut memang dan harus terselenggara dengan baik, sebagaimana yang dimaksudkan Berger dalam buku Piramida Kurban Manusia (1974) pada skala prioritas pertimbangan human costs-lah yang harus berada pada posisi tertinggi di setiap pembangunan dan perubahan sosial.
Aldo Serena, penggemar AC Milan dan Semen Padang FC yang menikmati setiap match dengan secangkir kopi. Bisa disapa di akun Twitter @SerenaAldo dan Instagram @aldo_serena
Daftar Bacaan:
- Peter L. Berger, Piramida Kurban Manusia : Etika Politik dan Perubahan Sosial (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), 158.
- https://www.theguardian.com/global-development/2021/feb/23/revealed-migrant-worker-deaths-qatar-fifa-world-cup-2022 diakses pada 27 Maret 2021.