Kediri, Liputan9 – Beberapa tahun lampau, pernah mengemuka kecurigaan bahwa pesantren menjadi sarang tumbuhnya radikalisme Islam lantaran adanya sejumlah pesantren disinyalir menjadi sasaran pengembangan gerakan radikal Islam menyusul terungkapnya jaringan pelaku peledakan bom di Bali dan terungkapnya sebuah komplotan yg menyimpan bahan peledak di Solo dan Semarang beberapa tahun silam. Kecurigaan ini terkait dengan kenyataan bahwa para pelaku teror serangkaian pemboman tersebut adalah para alumnus pesantren yg berjaringan dengan pesantren Ngruki Solo yg dipimpin oleh Abu Bakar Ba’asyir, eks Amir Jama’ah Islamiyah yg berodeologi Ialam Fundamentalis.
Jika diamati secara seksama, pesantren-pesantren yang ada dinegeri ini jumlahnya belasan ribu pesantran, selain pesantren yg disebutkan diatas, tak satupun ada pesantren yang menghasilkan tokoh-tokoh ekstrimis yang mempunyai orientasi pada kelompok radikal. Karena kekerasan fisik memang tidak mendapat tempat di dunia pesantren yang mengedepankan kearifan, kelembutan dan kesadaran dalm proses pendidikannya. Jika ada santri yang melanggar tata tertib dipesantren, hukumannya pun bersifat edukatif, seperti membersihkan lingkungan, bukan dengan dicambuk dan adegan kekerasan fisik lainnya.
Demikian pula dengan para kiyai pengasuhnya, dalam sejarahnya, mereka ini rata-rata justru sebagai tokoh nasionalis. Sebaliknya, tokoh-tokoh yang dikategorikan sebagai kelompok garis keras, tdk satupun yang tergolong sebagi kiyai.
Dipihak lain, meskipun tidak sedikit para kiyai yg tak suka dengan jabatan pemerintahan, namun mereka tidak memusuhinya. Dan meski pula tak sedikit dari mereka yang tak segan-segan mengadakan kritik terhadap siapa saja yang mereka anggap tdk sesuai dengan rel yang mereka pahami, termasuk oknum-oknum pemerintah itu sendiri, namun secara keseluruhan, pada umumnya para kiya juga tetap memberi pengakuan sah kpd pemerintah.
Bahkan Abu Bakar Ba’asyir, radikalis yang menjadi pemimpin Pesantren Ngruki Solo yang disebutkan diatas itu pun, kini telah mengakui Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia. Basyir kini mengakui bhw dirinya memahami hal itu belakangan ini. Ia mangatakan bhw dulunya, ia mengatakan Pancasila itu syirik, sehingga ia melakukan teror dengan maksud utk memerangi negara Kafir.
Dalam ajaran Islam didalam kitab-kitab kuning dipesantren, jihad dlm arti Perang memang ada dan tdk bisa di nafikan. Sebagian fihak ada yang berpendapat bhw ayat ttg “Perang” itu harus dieliminir, karena tidak sesuai dgn konteks zaman, tetapi pernyataan seperti itu tidak benar.
Dalam kondisi tertentu, seperti diserang atau didzalimi, umat Islam oleh Al Qran diperintahkan untuk angkat senjata. Hal ini juga berlaku disemua agama. Hanya saja, jihad dlm arti perang untuk konteks Indonesia dimasa sekarang ini, tidak relevan. Sebab Indonesia bukan negara yang sedang terancam, apalagi diserang. Disini Islam tidak ditindas. Dinegeri ini, para pemimpinnya, aparat-aparatnya tdk ada tanda-tanda yang memusuhi Islam.
Jadi tdk relevan berbicara jihad dlm pengertian perang utk konteks Indonesia sebagaimana yg sering disampaikan oleh para ulama dan kiyai-kiyai pesantren itu sendiri.
Selain itu, Indonesia bukan termasuk dalam kategori Darul Harb (negara musuh). Indonesia sebagaimana diputuskan dlm Muktama NU ke 11 di Banjarmasin 1936, adalah Darul Islam (negara Islam) yg dipimpimpin oleh orang-orang Islam, meskipun ada beberapa orang non muslim di dalm pemerintahannya.
Inilah yang kemudian dipahami oleh Abu Bakar Basyir belakangan ini setelah ia pelajari beberapa lama. Menurutnya, tdk mungkin para ulama dahulu itu menyetujui dasar negara syirik. Karena ulama itu mesti niyatnya ikhlas.
Indonesia berdasar Pancasila karena dasarnya Tauhid, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kata Basyir yg dulu tergabung dlm kelompok yg bertanggung jawab atas sejumlah serangan termasuk bom Bali 1 itu.
Memang, dengan disepakatinya Pancasila sebagai platform kebangsaan dan kemasyarakatan, maka semua komunitas agama di tanah air kita ini dapat hidup rukun dan damai. Pancasila sendiri memang tidak mengatur hal-hal yang bersifat akidah, ibadah dan ritual keagamaan yang diajarkan oleh masing-masing agama, krn masalah tersebut, merupakan ranah ilahiyah yang tidak dapat dicampuri dan diatur oleh regulasi duniawi.
“Islam Radikal” sendiri yang digaungkan oleh para ekstrimis itu, merupakan corak pemahaman Islam yang khas dan berbeda dari yg lain. Radikalisme pada intinya diartikan sebagi aliran dan faham keislaman yg menginginkan diberlakukannya syariat Islam dgn bentuknya yang murni yang tak ada unsur-unsur luar Islam
yang dimasukkan kedalamnya.
Padahal sebenarnya yang dimaksud kemurnian dalam Islam itu, bukan berarti Agama yg dibawa Nabi akhir zaman ini tdk boleh dicampuri dgn unsur–unsur dari luar Islam. Sebab apa yg dari luar Islam itu, seperti budaya dan tradisi setempat boleh saja masuk kedalam ajaran Islam selama hal itu tdk berlawanan dgn prinsip-prinsip ajaran
Islam. Bahkan ulama Fiqih menyatakan bahwa Tradisi bisa dijadikan sebagai sumber hukum.
Sebagai umat Islam, kita memang tdk boleh terjebak kedalam pemahaman sempit yang disebabkan justru oleh sempitnya pengetahuan kita sendiri, bukan sempitnya ajaran Islam yang sebenarnya justru begitu longgar dan tak banyak membebani umatnya, sebagaimana disabdakan Nabi saw sendiri: “Sesungguhnya agama ini mudah dan tidaklah seseorang berlebih-lebihan dalam urusan agama kecuali agama nanti akan mengalahkannya.” (HR: Al Bukhari dari Abi Hurairah r.a.).
Selain itu,
Islam juga dikenal sbg agama yang mengutamakan kedamaian, stabilitas dan harmoni dimasyarakat
daripada apapun dalam bentuk idealisme keagamaan, politik ataupun lainnya. Sementara perjuangan keadilan dan bahkan kebenaran, menurut ajaran Islam harus ditunda dulu manakala hal itu harus dibayar dengan biaya yg terlalu mahal, seperti terjadinya kekacauan dan anarkisme dimasyarakat. Menegakkan kebenaran dan keadilan adalah satu hal, sedangkan menjaga keamanan dan stabilitas dimasyarakat adalah hal lain.
Dalam Islam, pola pikir seperti itu tampak dominan, yg dimaksudkan sebagai upaya untuk mempersatukan faksi-faksi yang berseteru
Dapatlah dimaklumi jika Islam dlm setting politik lebih bersifat fleksibel dan akomodatif dan sebisa mungkin berusaha menghindari apapun bentuk kekerasan yang dalam banyak kasus, rakyat kecil yang tdk tahu apapa justru bisa menjadi korban.