Jakarta, Liputan9.id – Seperti dilansir Liputan9.id, Sabtu, (03/09) bahwa Setelah melalui pertimbangan dan alasan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya memutuskan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan tersebut mendapatkan tanggapan menohok dari Said Aqil Siroj (SA) instiute, dalam Press Release yang bagiikan ke awak media, Senin, (05/08/2022).
Said Aqil Siroj (SAS) instiute melalui direkturnya menyampikan, sebagai alasan klasik dan selalu diulang-ulang setiap kali ingin mencabut subsidi BBM, subsidi BBM membebani pemerintah dan tidak tepat sasaran. Apapun alasannya, dampak paling besar ditanggung dan dirasakan masyarakat kecil. Seperti pernyataan pemerintah bahwa Lebih dari 70% subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu, yaitu pemilik mobil pribadi.
Oleh karena itu, Kata Dr. KH. Sa’dullah Affandy, SAS Institute perlu memberikan masukan, pertimbangan, juga pernyataan sikap kepada pemerintah. bahwa, sebelum dan setelah menaikkan harga BBM, pemerintah harus mengkaji dan menghitung ulang dampak dan akibat kenaikan BBM bagi rakyat kecil dengan lebih memperhatikan dan meprioritaskan nasib mereka.
“Dalam hal ini, yang harus dikedepankan adalah nasib dan kemaslahatan rakyat bukan elit. Sebagaimana kaidah fiqh tasharuful imam ala al-raiyyah manutun bil maslahah (kebijakan pemimpin atas rakyat harus didasarkan pada kemaslahatan),” ujar Sadullah Affandy, Direktur Ekskutif SAS Institute.
Sa’dullah Affandy juga mengatakan, SAS Institut menilai pengalihan subsidi melalui bantuan sosial langsung sama sekali bukan solusi dan tidak menyelesaikan masalah, karena hanya menjadi “pelipur lara” bagi rakyat kecil.
“Ke depan, selain mengatur subsidi agar tepat sasaran, pemerintah harus memperhatikan keadilan dan kesejahteraan masyarakat,” ucapnya tegas.
Kata Sa’dullah, pemerintah perlu memikirkan solusi jangka panjang dengan meningkatkan eksplorasi dan produksi migas nasional agar mengurangi impor minyak dan bisa menjadi negara pengekspor minyak. Juga dibarengi dengan ikhitiar melepaskan ketergantungan terhadap energi fosil dan beralih pada energi baru terbarukan.
“Sebagai perusahaan milik pemerintah, pertamina harus segera berbenah diri menjadi perusahaan profesional dan terbebas dari intervensi elit politik (oligarki politik),” papar Sa’dullah Affandy, mantan Atase Ketenagakerjaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Riyadh tersebut.
Demikian pernyataan sikap dari SAS Institut menyikapi kebijakan pemerintah yang tidak populer ini agar tidak menambah beban dan penderitaan bagi masyarakat kecil. Wallahu a’lam bi sawab, tutup Sa’dullah Affandy. (ASR)