Dalam rangka Satu Abad NU Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur menyelenggarakan Sholawatan Satu Abad NU di Sidogiri. Acara diselenggarakan di lapangan pondok pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur, Selasa 1 Sya’ban 1444 H/21 Februari 2023.
Kegiatan Sholawatan Satu Abad NU di Sidogiri ini semacam napak tilas atas sejarah berdirinya NU. Mengingat, KH. Nawawi bin Noerhasan salah satu masyayikh Sidogiri yang ikut membidani berdirinya Nahdlatul Ulama.
Mengenal Sejarah Kiai Nawawi Sidogiri
Mengungkap sejarah perjalanan hidup Hadratussyekh KH. Nawawie bin Noerhasan secara rinci tidaklah mudah. Di samping saksi-saksi sejarah yang sulit ditemukan, juga karena masa hidup beliau terbentang antara tahun 1862-1929, pada saat itu Indonesia sedang mengalami masa-masa sulit akibat tekanan-tekanan penjajah Belanda.
Nun jauh dari keramaian hiruk pikuk kota Pasuruan, terdapat sebuah pemukiman santri yang dirintis pertama oleh sang mujahid agung Mbah Sayid Sulaiman. Salah satu pesantren tertua di Indonesia ini mulai menapaki tangga perkembangan menuju kemajuan di bidang pendidikan, walaupun sistem yang digunakan masih klasik -seperti halnya pemukiman-pemukiman santri lainnya kala itu- tapi tak menyurutkan semangat para petualang masa depan (baca: santri) untuk mereguk ilmu dari para pengasuhnya. Tak terhitung sudah berapa ulama yang telah berhasil menuai barakahnya. Syaikhul-Masyâyikh (kiainya para kiai) mayoritas ulama Indonesia, Syaikhona Cholil Bangkalan, KHR. Syamsul Arifin (ayahanda KHR. As’ad Syamsul Arifin), dan KHR As’ad Syamsul Arifin Situbondo, adalah beberapa di antaranya.
Pemukiman santri yang kala itu hanya berupa deretan bilik-bilik cangkruk berdinding kusam kini telah menjelma gedung-gedung bertingkat. Setiap tahun penghuninya terus bertambah. Sistem pendidikannya pun sudah maju, walaupun tetap dengan orientasi as-salaf al-shâlih-nya. Di pemukiman santri inilah Hadratussyekh KH. Nawawie dilahirkan, dibesarkan, dan mendapat didikan langsung dari sang ayah, KH. Noerhasan bin Noerkhotim, sebelum akhirnya beliau menuntut ilmu kepada salah seorang famili sekaligus santri ayahandanya di Bangkalan Madura, Syaikhona Cholil, dan kemudian dilanjutkan ke Mekah al-Mukarramah.
Kehati-hatian Kiai Nawawie ini tercermin dari sikapnya yang selama mengajar tidak pernah menulis di papan tulis. Hal ini karena beliau khawatir debu sisa-sisa tulisan ayat al-Qur’an terinjak oleh kawan santri nantinya.
Kiai Nawawi Sidogiri Ikut Membidani Lahirnya NU
Bermula dari beberapa organisasi kecil seperti Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Syubbanul Wathan yang didirikan oleh KH. A. Wahab Hasbullah, tak lama kemudian melebur menjadi organisasi keagamaan terbesar di Indonesia: Nahdlatul Ulama (NU). Kiai Nawawie adalah salah satu ulama yang ikut membidani lahirnya organisasi kebanggaan warga Ahlusunah wal Jamaah ini.
Dalam sejarahnya, setelah Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari mendapat restu dari Syaichona Muhammad Chholil Bangkalan untuk mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) melalui simbol tasbih dan tongkat, selanjutnya NU harus mempunyai lambang organisasi. Mengenai hal ini KH Ridlwan Abdullah mendapat tugas untuk membuatnya.
Beberapa hari kemudian Kiai Ridlwan menyerahkan sketsa lambang NU berdasarkan hasil mimpi setelah melaksanakan istikharah. Hadratussyekh Hasyim Asy’ari kemudian menugaskan Kiai Ridlwan menemui Kiai Nawawi Sidogiri dengan dua maksud dan tujuan, pertama meminta pendapat Kiai Nawawi Sidogiri mengenai lambang NU yang telah dibuat oleh Kiai Ridlwan, kedua mengajak Kiai Nawawi masuk menjadi jajaran pengurus NU.
Untuk maksud pertama Kiai Nawawi menunjukkan sikap tawadlu’nya dengan menyatakan bahwa Kiai Nawawi mengikuti pendapatnya KH Hasyim Asy’ari. Apabila menurut KH Hasyim Asy’ari lambang itu dianggap bagus, menurut Kiai Nawawi juga bagus, begitu pun sebaliknya.
Untuk maksud yang kedua, Kiai Nawawi Sidogiri bersedia menjadi pengurus NU dengan satu syarat, asal para pengurus NU bersedia urunan dalam menjalankan roda organisasi.
Dalam kisah yang lain, atas perintah Kiai Hasyim Asyari Kiai Wahab Chasbullah datang ke Kiai Nawawi Sidogiri perihal rencana pendirian Nahdlatul Ulama. Sebelum Kiai Nawawi menyetejui atas berdirinya Nahdlatul Ulama, Kiai Nawawi memberikan saran kepada Kiai Wahab agar juga memusyawarahkan terlebih dahulu dengan para ulama lain di Pasuruan.
Kemudian keduanya, Kiai Nawawi dan Kiai Wahab sepakat untuk membicarakannya di Masjid Jami’ Pasuruan. Dari pembicaraan pertama di Masjid Jami’ Pasuruan inilah kemudian dilanjutkan dengan pertemuan para ulama di rumah Kiai Wahab Hasbullah pada tanggal 31 Januari 1926 M yang kemudian sepakat mendirikan sebuah organisasi keagamaan yang diberi nama Nahdlatul Ulama yang disingkat NU.
Dari sejak lahirnya NU hingga sekarang para masyayikh Sidogiri dan alumni pondok pesantren Sidogiri terus aktif di NU, baik sebagai pengurus atau anggota. Setelah Kiai Nawawi bin Noerhasan wafat, putra-putra beliau yang aktif sebagai pengurus NU antara lain adalah Kiai Cholil Nawawi dan Kiai Sa’dulloh Nawawi.
KH. Nawawi Abdul Djalil, pengasuh pondok pesantren Sidogiri menjadi Mustasyar PBNU hingga wafat. Dan sekarang KH. Fuad Noerhasan, pengasuh pondok pesantren Sidogiri juga sebagai Mustasyar PBNU. Keduanya, Kiai Nawawi Abdul Djalil dan Kiai Fuad Noerhasan sama-sama cucu dari KH Nawawi bin Noerhasan pendiri NU.
KH. Abdul Muiz Ali, Alumni Pondok Pesantren Sidogiri yang sekarang sebagai Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, Sekretaris Panitia Pengiriman Da’i Internasional Lembaga Dakwah PBNU, dan Direktur LAZISMA.