Banten, LIPUTAN 9 NEWS
“Nama Ubaidillah dan “biografi” hidupnya, baru muncul 512 tahun setelah wafatnya. Sosoknya, pertama kali di munculkan oleh Habib Ali Al-Sakran (w. 895 H). bukan hanya menyebut nama dalam rangkaian silsilah, Al-Sakran, bahkan, telah berhasil mengungkap ketokohan Ubaidillah. Sesuatu yang tidak diketahui oleh ulama yang hidup sezaman atau berdekatan dengan Ubaidillah. Ia dapat diketahui oleh Al-Sakran tanpa sumber-sumber pendukung apapun. Al-Sakran adalah pioneer dalam meruntut “sejarah” Ubaidillah, dan sukses menjadikannya sebagai sosok “menyejarah”. (K.H. Imaduddin Utsman)
Dalam literatur ulama Ba’alwi, Ubaidillah ditulis wafat tahun 383 Hijriah. Ia seorang Imam yang dermawan; seorang ulama yang “rasikh” (mendalam ilmunya); guru para” Syaikhul Islam”; pembuka kunci-kunci ilmu yang dirahasiakan; Tiada ditemukan yang menyamainya (di zamannya). Demikian, sebagian yang ditulis ulama Ba’alwi tentang Ubaidillah hari ini. (lihat Al-Burqoh halaman 136 dan Al-Masyra’ al-Rawi juz 1/75)
Anehnya, seorang “Imam Besar”, yang hidup di abad ke-4 hijriah, sejarahnya gelap gulita pada masanya. Tidak ada satu kitab-pun membicarakannya. Jika ia Imam, tidak ada seorang pengikutnya-pun mencatatnya. Jika ia guru para “Syaikhul Islam”, tidak ada seorang ”Syaikhul Islam”-pun menyebut namanya, mengutip pendapat gurunya, bahkan walau hanya menulis namanya dalam silsilah sanad keguruannya. Ia benar-benar “orang besar” yang mastur dan misterius. Mungkinkah, karena ketawadlu’annya, atau ia berwasiat agar namanya tidak dituliskan; agar namanya dilupakan?
“Imam besar” ini, hidup di abad ke-4 Hijriah, katanya, ia lahir dan tumbuh besar di Bashrah, lalu umur 20 tahun hijrah bersama ayahnya ke Yaman. Di abad itu, di Bashrah dan di Yaman, puluhan kitab ditulis, ratusan ulama hidup bergaul satu dengan lainnya, namun, di antara mereka, seorangpun tidak mencatat interaksinya dengan Ubaidillah. Kemanakah Ubaidillah sang “Imam Besar” ini bersembunyi? Apakah ia memang sosok historis? Atau ia hanya tokoh fiktif? Kemudian, “fiksi sejarah” nya ditulis tanpa proses heuristic, lalu diletakkan begitu saja dengan ditenagai oleh kalimat denotative dan diksi glorivikatif, ekspresif dan plastis, sebagai pelengkap dari runtutan “teks sejarah” yang terputus?
Nama Ubaidillah dan “biografi” hidupnya, baru muncul 512 tahun setelah wafatnya. Sosoknya, pertama kali di munculkan oleh Habib Ali Al-Sakran (w. 895 H). bukan hanya menyebut nama dalam rangkaian silsilah, Al-Sakran, bahkan, telah berhasil mengungkap ketokohan Ubaidillah. Sesuatu yang tidak diketahui oleh ulama yang hidup sezaman atau berdekatan dengan Ubaidillah. Ia dapat diketahui oleh Al-Sakran tanpa sumber-sumber pendukung apapun. Al-Sakran adalah pioneer dalam meruntut “sejarah” Ubaidillah, dan sukses menjadikannya sebagai sosok “menyejarah”.
Ulama-ulama Ba’alwi masa kemudian, seperti Abu Bakar Al-Idrus Ba’alwi (w 914 H ), Muhammad Khirid Ba’alwi (w. 960 H ), Muhammad bin Abu Bakar Asyili Ba’alwi (w.1093 H ), Muhammad Dhiya Syihab Ba’alwi , ketika mengungkap sejarah Ubaidillah, akan mengutip tulisan Al-Sakran dalam kitabnya Al-Burqoh Al-Musyiqoh. Masalahnya, lalu darimana Al-Sakran mengutip biografi Ubaidillah itu, setelah sebelumnya tidak satupun orang menyebut sejarahnya selama 512 tahun? Mungkin tradisi lisan!
Tradisi lisan, berbeda dengan sejarah lisan. Sejarah lisan merupakan salah satu sumber sejarah: sejarah yang dilisankan oleh pelaku sejarah. Sedangkan tradisi lisan adalah cerita yang diungkapkan secara beruntun melalui lisan. Penutur tidak mengetahui apakah cerita ini fakta atau rekayasa. Tradisi lisan tidak dapat disebut sebagai fakta sejarah: tidak dapat dibedakan darinya antara mitos dan kenyataan; banyak bermuatan mistik yang tidak masuk akal, dan sifat subjektivitasnya masih sangat mendominasi. Ubaidillah bagi Ali Al-Sakran, apakah ia objek tradisi lisan yang dituliskan, atau justru ia sebuah karya baru yang diciptakan sebagai sumber masa selanjutnya.
Sebagai perbandingan, kita mengenal biografi para Wali Songo, Sunan Bonang misalnya, ia sebagai tokoh historis didukung oleh sumber-sumber sejarah primer dan atau sekunder, misalnya buku “Primbon Sunan Bonang” yang berangka tahun 1597 M, buku itu dijadikan tesis oleh ilmuwan Belanda, yaitu B.J.O Schrieke dengan judul “Het Boek van Bonang” (Wejangan Sunan Bonang) tahun 1916. Buku itu hanya berjarak 72 tahun dari wafatnya Sunan Bonang pada tahun 1525 M, tentu angka tahun itu sangat dapat merekam kejadian sebelumnya dan masih sangat dapat dipertanggung-jawabkan.
KH. Imaduddin Utsman Al Bantani, Pengasuh dan Pendiri Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Kampung Cempaka, Desa Kresek, Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.