Makkah, LIPUTAN 9 NEWS
“Menanggapi fatwa MUI belakangan ini terkait soal salam lintas agama sebaiknya tidak perlu ditanggapi emosional, atau melabrak para ulama tersebut yang melakukan ijtima’ dan telah mengeluarkan fatwa haram atas salam lintas agama. Wewenang MUI untuk melakukan itu mungkin didasarkan beberapa illat-nya, bisa jadi illat itu adalah menjadikan rusaknya keimanan dan itu artinya merusak bangunan teologisnya.”
Latar Masalah
Kenapa harus ada fatwa hukum salam lintas agama? adakah yang salah, adakah yang jadi sesat karena ucap salam lintas agama tersebut. ? lalu apa urgensinya melarang-larang untuk ucapkan salam tersebut. Untuk apa diciptakan lalu kemudian harus dilarang?. Sebenarnya apa tujuannya, apakah bisa menjamin toleransi akan tetap menjadi sikapnya bangsa pluralis ini, ketika polanya, ketika caranya lalu dilarang-larang.
Menurut Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin dalam keterangannya di situs Kemenag RI, bahwa “salam lintas agama adalah praktik baik kerukunan umat. Ini bukan upaya mencampuradukkan ajaran agama. Umat tahu bahwa akidah urusan masing-masing, secara sosiologis, salam lintas agama perkuat kerukunan dan toleransi”.
Kamaruddin menjelaskan bahwa di negara yang sangat beragam atau multikultural, artikulasi keberagamaan harus merefleksikan kelenturan sosial yang saling menghormati dengan tetap menjaga akidah masing-masing.
Apa itu Salam
Salam itu ucapan yang isinya mendoakan kedamaian kepada yang disalaminya, satu atau banyak orang.
Ucapan salam itu disampaikan kepada siapa pun yang ditemuinya, kepada siapapun yang di hadapannya, karena ucapan salam tersebut adalah termasuk ajaran Rosulullah S.a.w, seperti dalam hadits berikut ini.
وعن أَبي أُمامة صُدَيِّ بن عجلان الباهِلِي قال: قال رسولُ الله إنَّ أَوْلَى النَّاس باللهِ مَنْ بَدَأهم بالسَّلام
Artinya: Sesungguhnya orang yang paling utama di sisi Allah adalah mereka yang memulai salam (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Pesan kedamaian dalam wujud menebarkan salam secara verbal juga telah menjadi tradisi agama tauhid sejak Nabi Adam As yang terus diwarisi hingga sekarang.
هو سنة ادم و ذريته من الأنبياء و الأولياء
Artinya: Mengucapkan salam merupakan tradisi Nabi Adam As dan keturunannya dari para nabi dan wali. (Al-Mula Ali al-Qari, Mirqah al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih, XIII/431).
Dalil-Dalil Salam
Dalam Kitab al-Jaami’ dari Kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-Asqalani telah menerangkan.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِيُسَلِّمْ اَلصَّغِيرُ عَلَى اَلْكَبِيرِ, وَالْمَارُّ عَلَى اَلْقَاعِدِ, وَالْقَلِيلُ عَلَى اَلْكَثِيرِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Artinya: dari Abu Hurairah R.A, ia berkata bahwa Rosulullah S.a.w telah bersabda “ hendaklah yang kecil memberi salam pada yang lebih tua, hendaklah yang berjalan memberi salam pada yang sedang duduk, hendaklah yang sedikit memberi salam pada yang banyak.” (H.R Muttafaqun ‘alaih).
Nabi Ibrahim As mengucapkan salam kepada ayahnya yang masih belum bertauhid.
قال سلام عليك ساستغفر لك ربي إنه كان بي حفيا
Artinya: Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu dan aku akan memintakan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sungguh ia sangat baik kepadaku (QS. Maryam: 47).
Nabi Muhammad S.a.w pun pernah mengucapkan salam kepada penyembah berhala dan segolongan Yahudi yang sedang berkumpul bersama kaum muslimin.
عَن أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكِبَ عَلَى حِمَارٍ عَلَى قَطِيفَةٍ فَدَكِيَّةٍ، وَأَرْدَفَ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ وَرَاءَهُ يَعُودُ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ فِي بَنِي الحَارِثِ بْنِ الخَزْرَجِ قَبْلَ وَقْعَةِ بَدْرٍ، قَالَ: حَتَّى مَرَّ بِمَجْلِسٍ فِيهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ، وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يُسْلِمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ، فَإِذَا فِي المَجْلِسِ أَخْلاَطٌ مِنَ المُسْلِمِينَ وَالمُشْرِكِينَ عَبَدَةِ الأَوْثَانِ وَاليَهُودِ وَالمُسْلِمِينَ، وَفِي المَجْلِسِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ، فَلَمَّا غَشِيَتِ المَجْلِسَ عَجَاجَةُ الدَّابَّةِ خَمَّرَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ أَنْفَهُ بِرِدَائِهِ، ثُمَّ قَالَ: لاَ تُغَبِّرُوا عَلَيْنَا. فَسَلَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ.
Artinya: dari Usamah bin Zaid mengabarinya bahwa Rosulullah S.a.w naik himar ( keledai) yang di atasnya terdapat pelana dan di bawahnya terdapat kain beludru kampung Fadak, sementara Usamah mengikuti di belakangnya dalam rangka menjenguk Sa’d bin ‘Ubadah di kampung Bani al-Harits bin al-Khazraj, peristiwa ini terjadi sebelum perang Badar, sehingga Rosul S.a.w melewati suatu majelis yang di dalamnya berkumpul kaum muslimin, kaum musyrikin penyembah berhala dan kaum Yahudi yang di dalamnya terdapat Abdullah bin Ubai, di majelis itu juga ada Abdullah bin Rawahah. Kemudian ketika debu telapak hewan kendaraan menyebar ke majelis, Abdullah bin Ubai menutupi hidungnya dengan selendangnya, lalu berkata: “Jangan kenai debu kami.” Kemudian Rosulullah S.a.w mengucapkan salam kepada mereka (Muttafaq ‘Alaih).
Betapa urgensinya ucapan salam, karena itu bagian dari doa manusia untuk kedamaian manusia lainnya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad S.a.w.
لَا تَدۡخُلُونَ الۡجَنَّةَ حَتَّى تُؤۡمِنُوا، وَلَا تُؤۡمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَلَا أَدُلُّكُمۡ عَلَى شَيۡءٍ إِذَا فَعَلۡتُمُوهُ تَحَابَبۡتُمۡ؟ أَفۡشُوا السَّلَامَ بَيۡنَكُمۡ
Artinya: Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Kalian tidak beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kalian suatu perbuatan jika kalian melakukannya, maka kalian akan saling mencintai? Sebarkan salam di antara kalian. (HR. Muslim: 54).
Salam Lintas Agama
Salam Islam adalah “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” adalah merupakan sunnah Nabi Muhammad S.a.w., ucapan salam ini dapat merekatkan Ukhuwah Islamiyah umat Muslim di seluruh dunia. Saat mendengarnya, wajib untuk menjawabnya dengan kata Wa’alaikumussalam, atau waalaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh.
Sementara ucapan “syalom” atau “shalom” adalah ucapan salam dari tradisi agama Kristen dan Katolik. Kata ini kerap kali disinggung dalam ibadah di Gereja hingga percakapan keseharian. Biasanya umat Kristen menggunakannya sebagai salam.
Kemudian terdapat pula ucapan salam Hindu yaitu “Om Swastyastu” yang berasal dari bahasa Sansekerta dan berarti: Ya Tuhan, semoga semua orang selalu di dalam keadaan baik, sehat, dan selamat.
Om merupakan istilah yang amat sakral dan dipakai untuk menyebut Tuhan yang Maha Esa. Sementara Swastyastu berasal dari kombinasi 3 kata, yakni: Su (baik), asti (ada), dan astu (semoga).
Sedangkan ucapan salam “Namo Buddhāya” yang diucap oleh penganut Buddha, baik Budha Mahayana maupun Budha Hinayana yang ternyata merupakan kalimat pemujaan kepada Buddha. Kata “Namo”berarti terpujilah dan kata “Buddhāya” berarti “kepada Buddha” . Jadi Namo Buddhāya berarti Terpujilah Buddha’.
Dalam agama Konghucu ada salam yaitu “Salam Kebajikan”, yang merupakan prinsip keimanan di dalam ajaran Konghucu. Di China, tempat asal agama Konghucu, salam ini sering diucapkan sebagai “Wei De Dong Tian”, yang berarti hanya kebajikan Tuhan yang berkenan.
Beberapa Hujjah dan Perspektif
Menanggapi fatwa MUI belakangan ini terkait soal salam lintas agama sebaiknya tidak perlu ditanggapi emosional, atau melabrak para ulama tersebut yang melakukan ijtima’ dan telah mengeluarkan fatwa haram atas salam lintas agama. Wewenang MUI untuk melakukan itu mungkin didasarkan beberapa illat-nya, bisa jadi illat itu adalah menjadikan rusaknya keimanan dan itu artinya merusak bangunan teologisnya.
Saya ingin tengahkan pendapat Imam al-Syatibi dalam kitab al-Muwafaqot ( hal. 110 ) sebagai penjelasan atas kedudukan suatu fatwa.
قال الإمام الشاطبي رحمه الله في بيان ميزات أحكام التشريع القطعية
الثبوت من غير زوال ، فلذلك لا تجد فيها بعد كمالها نسخاً ، ولا تخصيصاً لعمومها ، ولا تقييداً لإطلاقها ، ولا رفعاً لحكم من أحكامها ، لا بحسب عموم المكلفين ، ولا بحسب خصوص بعضهم ، ولا بحسب زمان دون زمان ، ولا حال دون حال ، بل ما أثبت سبباً : فهو سبب أبداً لا يرتفع ، وما كان شرطاً : فهو أبداً شرط ، وما كان واجباً : فهو واجب أبداً ، أو مندوباً : فمندوب ، وهكذا جميع الأحكام ، فلا زوال لها ، ولا تبدل ، ولو فُرض بقاء التكليف إلى غير نهاية : لكانت أحكامها كذلك.
Tetapi bisa kemungkinan fatwa larangan salam lintas agama itu sekedar ikhtiyath ( kehati-hatian) dari perilaku dan budaya liberal dari beberapa kalangan tertentu yang memanfaatkannya sebagai sebuah tradisi baru,sehingga tidak bisa membedakan keimanannya masing-masing. Kekhawatiran itu memang rasional dan bisa jadi realistis. Akan tetapi salam lintas agama tidak dimaksudkan sebagai yang mengikuti makna yang terkandung dalam salam tersebut, sekedar sikap pluralitas dalam upaya menjaga kedamaian bangsa.
Menurut Prof. Tholabie Kharlie bahwa fatwa tersebut adalah forum internum bukan forum eksternum, karena itulah maka fatwa tersebut konteksnya ditujukan kepada internal umat Islam dan ditempatkan pada forum internal umat Islam.
Penutup
Heterogenitas bangsa Indonesia adalah dasar kita punya pandangan, bahwa setiap pemeluk agama tentu menjalankan agamanya masing-masing dan itu negara menjamin dan melindunginya, karena tidak ada campuran satu agama dengan agama lainnya, semua masing-masing berjalan seperti biasa. Adapun salam yang digabungkan menjadi 6 salam dalam satu penyampaian di suatu forum dimana di dalamnya ada banyak pemeluk agama, itu dalam upaya kebersamaan di dalam suasana perbedaan.
KHM. Hamdan Suhaemi, Pengajar Pesantren Ashhabul Maimanah Sampang Susukan Tirtayasa Serang, Wakil Ketua PW GP Ansor Banten, Ketua PW Rijalul Ansor Banten, Sekretaris komisi Haub MUI Banten, Sekretaris Tsani Idaroh wustho Jam’iyah Ahlith Thoriqah Mu’tabaroh An-Nahdliyah Jatman Banten, Ketua FKUB Kab Serang, dan Anggota Dewan Pakar ICMI Provinsi Banten.