Hakikat Puasa
Puasa pada hakikatnya adalah meninggalkan syahwat-syahwat nafsu yang hukum asalnya mubah di luar puasa. Syahwat-syahwat nafsu tersebut diharamkan untuk sementara waktu, dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari dan setelah itu dihalalkan kembali. Oleh karenanya, puasa seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan oleh Allâh dalam segala keadaan, bukan hanya saat berpuasa.
Ibadah puasa adalah salah satu manifestasi ketundukan seorang hamba kepada Allâh. Orang yang berpuasa meninggalkan syahwat-syahwat nafsunya di siang hari untuk mendekatkan diri kepada Allâh dan karena taat kepada-Nya. Kemudian berbuka, bahkan menyegerakannya, di malam hari juga untuk mendekatkan diri kepada Allâh dan karena taat kepada-Nya. Ia tidak meninggalkan syahwat-syahwat nafsunya kecuali dengan perintah Tuhannya dan tidak kembali memenuhi syahwat-syahwat nafsunya kecuali dengan perintah Tuhannya. Jadi dalam dua keadaan tersebut, seorang hamba menaati perintah Tuhannya.
Oleh karenanya, sungguh disayangkan ketika orang berpuasa dari syahwat-syahwat nafsunya yang diharamkan sementara saat berpuasa, namun ia tidak menjauhi perkara-perkara yang diharamkan oleh Allâh dalam segala keadaan, saat berpuasa maupun di luar puasa. Demikian pula, orang yang berpuasa dan menjauhi syahwat-syahwat nafsunya yang diharamkan sementara saat berpuasa, namun saat berbuka ia berbuka dengan makanan atau minuman yang haram atau melakukan perkara haram lainnya. Nabi ﷺ telah bersabda:
«مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ والعَمَلَ بهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طعَامَه وشَرَابَه» (رواه البخاريّ)
Maknanya: “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dosa dan perbuatan dosa, maka Allâh tidak akan menerima darinya bahwa ia telah meninggalkan makan dan minumnya (tidak diterima puasanya).” (H.R. al Bukhâri)
Sedangkan hadits:
“خَمْسٌ يُفَطِّرْنَ الصَّائِمَ: النَّظْرَةُ المُحَرَّمَةُ وَالْكَذِبُ وَالْغِيْبَةُ وَالنَّمِيْمَةُ وَالْقُبْلَةُ”.
“Lima hal yang menyebabkan batalnya puasa; melihat yang diharamkan, dusta, ghîbah (membicarakan aib orang lain di belakangnya), namîmah (mengadu domba) dan mencium”.
maka ini tidak ada dasarnya, sebaliknya ini adalah kebohongan yang dinisbatkan kepada Nabi ﷺ, tapi sebagian dari kelima hal tersebut bisa menghilangkan pahala puasa seperti namîmah.
Hendaklah diketahui bahwasanya sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allâh lebih ringan dari pada sabar menghadapi siksa-Nya. Maka hendaklah dicegah perut seseorang dari memakan makanan atau minuman yang haram waktu berbuka. Hendaklah dijaga pandangannya dari melihat yang haram, dijauhi perkataan kotor yang diharamkan seperti berbohong, ghîbah (membicarakan aib seorang muslim yang memang benar ada padanya tanpa ada sebab yang diperbolehkan oleh syara’ di belakangnya). Hendaklah dijaga pendengarannya dari mendengar omongan yang haram didengar. Juga mencegah anggota-anggota badannya yang lain seperti tangan dan kaki dari perbuatan-perbuatan maksiat, dosa dan perbuatan yang makruh.
Demikian pula, hendaklah menahan diri dari perbuatan keji, pertengkaran, percekcokan dan perdebatan. Al Bukhâri dan Muslim meriwayatkan dari hadits Abû Hurairah bahwasanya Rasûlullâh ﷺ bersabda:
«إِنَّمَا الصَّوْمُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ» (رواه الشيخان)
Maknanya: “Sesungguhnya puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa maka janganlah bersikap keji dan jangan bertindak bodoh, jika ada orang yang mengganggunya atau mencacinya maka hendaklah ia berkata: aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa”. (H.R. al Bukhâri dan Muslim)
Nabi ﷺ juga berbicara tentang dua orang perempuan yang saat berbuka puasa membicarakan keburukan orang lain. Nabi bersabda:
«إِنَّ هَاتَيْنِ صَامَتَا عَمَّا أَحَلَّ اللهُ لَـهُمَا وَأَفْطَرَتَا عَلَى مَا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِمَا، جَلَسَتْ إحْدَاهُمَا إِلَى الأُخْرَى فَجَعَلَتَا يَأْكُلَانِ لُـحُوْمَ النَّاسِ» (رواه أحمد)
Maknanya: “Sesungguhnya kedua perempuan ini menahan diri dari apa yang dihalalkan Allah bagi keduanya dan berbuka dengan apa yang diharamkan bagi keduanya. Salah satu dai keduanya duduk menemani temannya dan kedua berbuat ghibah” (H.R. Ahmad)
Dalam hadits yang lainnya Nabi ﷺ bersabda:
«لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ» (رواه الحاكم والبيهقي وابنا خزيمة وحبّان(
Maknanya: “Puasa yang sempurna tidak hanya menahan diri dari makanan dan minuman, melainkan menahan diri dari perkataan-perkataan dan perbuatan yang diharamkan atau dimakruhkan”. (H.R. al Hâkim, al Bayhaqi, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbân)
Tingkatan Orang Yang Berpuasa
Sebagian ulama mengelompokkan orang yang berpuasa dalam dua tingkatan:
Pertama: Orang yang meninggalkan makan, minum dan syahwat-syahwat nafsunya karena Allâh, karena mengharap balasan dari hal itu di surga. Maka orang ini telah berdagang dan bertransaksi dengan Allâh, sedangkan Allâh tidak akan menyia-nyiakan orang yang beramal baik dan tidak akan menyalahi janji-Nya kepada orang yang bertransaksi dengan-Nya, sebaliknya akan memberikannya keuntungan yang paling besar. Orang yang berpuasa seperti ini, akan diberikan oleh Allâh nikmat makanan, minuman dan para isteri yang ia inginkan di surga. Allâh ta’âlâ berfirman:
كُلُوْا وَاشْرَبُوْا هَنِيْۤـًٔا ۢبِمَآ اَسْلَفْتُمْ فِى الْاَيَّامِ الْخَالِيَةِ (سورة الحاقة: ٢٤)
Maknanya: “(Kepada mereka dikatakan), “Makan dan minumlah dengan nikmat karena amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (Q.S. al Hâqqah: 24)
Imam Mujahid dan lainnya berkata: Ayat ini turun tentang orang-orang yang berpuasa.
Rasûlullâh ﷺ bersabda:
«إِنَّ فِي الجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ منهُ الصَّائِمُوْنَ لَا يَدْخُلُ منهُ غَيْرُهُمْ» (رواه الشيخان)
Maknanya: “Sesungguhnya di surga ada pintu yang dinamakan Rayyan, akan masuk surga melaluinya orang-orang yang berpuasa, bukan selain mereka”. (H.R. al Bukhâri dan Muslim)
Kedua: Orang yang berpuasa di dunia ini dari segala sesuatu selain Allâh, segala sesuatu yang mengalihkan dari taat kepada Allâh, sehingga ia menjaga kepala dan isi kepalanya, ia menjaga perutnya dan isinya. Ia senantiasa ingat mati dan kepunahan dari dunia ini. Dia menginginkan akhirat, sehingga meninggalkan segala perhiasan dunia. Mereka berpuasa dari segala syahwat nafsu, maka orang seperti ini hari rayanya adalah hari akhirat saat ia berbahagia dengan melihat Allâh dan meraih ridla-Nya.
Sebagian ulama yang lain seperti Imam al Ghazâli membagi tingkatan orang-orang yang berpuasa menjadi tiga tingkatan. Al Ghazâli berkata:
“اعْلَمْ أَنَّ الصَّوْمَ ثَلَاثُ دَرَجَاتٍ صَوْمُ الْعُمُومِ وَصَوْمُ الخُصُوْصِ وَصَوْمُ خُصُوْصِ الخُصُوْصِ. وأمّا صَوْمُ الْعُمُومِ فَهُوَ كَفُّ الْبَطْنِ وَالْفَرْجِ عَنْ قَضَاءِ الشَّهْوَةِ. وَأَمَّا صَوْمُ الْخُصُوصِ وَهُوَ صَوْمُ الصَّالحِيْنَ فَهُوَ كَفُّ السَّمْعِ وَالْبَصَرِ وَاللِّسَانِ وَالْيَدِ وَالرِّجْلِ وَسَائِرِ الْجَوَارِحِ عَنِ الْآثَامِ. وأمَّا صَوْمُ خُصُوْصِ الخُصُوْصِ فَصَوْمُ القَلْبِ عَنِ الهِمَمِ الدَّنِيَّةِ وَالْأَفْكَارِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَكَفُّهُ عَمَّا سِوَى اللهِ عزَّ وجَلَّ بِالكُلِّيَّةِ وَيَحْصُلُ الفِطْرُ في هذَا الصَّوْمِ بِالفِكْرِ فيمَا سِوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاليَوْمِ الْآخِرِ وَبِاْلفِكْرِ في الدُّنْيَا، وَهٰذِهِ رُتْبَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالمُقَرَّبِيْنَ فإنَّهُ إِقْبَالٌ بِكُنْهِ الهِمَّةِ علَى اللهِ عزَّ وَجَلَّ وَانْصِرَافٌ عَنْ غَيْرِ اللهِ سُبْحَانَهُ”. ا.هـ بتصرّف
“Ketahuilah bahwa puasa ada tiga tingkatan: puasa orang-orang umum, puasa orang-orang khusus dan puasa orang-orang yang terkhusus. Puasa orang-orang umum adalah mencegah perut dan kemaluan dari memenuhi syahwatnya. Puasa orang-orang khusus -dan ini adalah puasa orang-orang shalih- adalah mencegah mata, telinga, lidah, tangan, kaki dan semua anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa. Sedangkan puasa orang-orang yang terkhusus (selain dua macam puasa di atas) adalah puasanya hati dari semangat-semangat (tekad-tekad) yang buruk dan pikiran-pikiran duniawi dan mencegahnya dari segala hal selain Allâh sama sekali. Berbuka dalam puasa seperti ini adalah dengan berfikir tentang selain Allâh dan hari akhir dan dengan berfikir tentang dunia. Ini adalah tingkatan para nabi, shiddiqin dan muqarrabin, karena ini adalah menghadapkan semangat (tekad) kepada Allâh dan berpaling dari selain Allâh”.
Berdasarkan kualitas puasa dan tingkatan orang-orang yang berpuasa inilah, sebagian ulama salaf berkata:
“أَهْوَنُ الصِّيَامِ تَرْكُ الشَّرَابِ وَالطَّعَامِ”.
Maknanya: “Puasa yang paling ringan adalah meninggalkan minuman dan makanan”.
Sahabat Jâbir bin Abdillâh berkata:
“إِذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ وَبَصَرُكَ وَلِسَانُكَ عَنِ الكَذِبِ وَالمَحَارِمِ، وَدَعْ أَذَى الجَارِ وَلْيَكُنْ عَلَيْكَ وَقَارٌ وَسَكِيْنَةٌ يَوْمَ صَوْمِكَ، وَلَا تَجْعَلْ يَوْمَ صَوْمِكَ وَيَوْمَ فِطْرِكَ سَوَاءً”.
Maknanya: “Jika engkau berpuasa maka hendaklah telinga, mata dan lidahmu berpuasa dari berbohong dan perkara-perkara yang diharamkan. Jangan sampai engkau menyakiti tetangga. Hendaklah engkau dihiasi dengan kewibawaan/kekhidmatan dan ketenangan di hari puasamu dan jangan engkau jadikan hari puasa dan tidak berpuasa sama”.
Seorang penyair berkata:
إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي السَّمْعِ مِنِّي تَصَاوُنٌ وَفِي بَصَرِي غَضٌّ وَفِي مَنْطِقِي صَمْتُ
فَحَظِّي إِذَنْ مِنْ صَوْمِي الجُوْعُ وَالظَّمَا فَإِنْ قُلْتُ إِنِّي صُمْتُ يَوْمِي فَمَا صُمْتُ
“Jika pendengaranku tidak aku jaga, pandanganku tidak aku tahan, pembicaraanku tidak aku kurangi dengan diam.
Maka bagianku dari puasaku adalah lapar dan haus, maka jika aku katakan aku telah berpuasa hari ini, maka sesungguhnya aku tidak berpuasa (secara sempurna)”.
Penyair yang lain berkata:
أَهْلُ الخُصُوْصِ مِنَ الصُّوَّامِ صَوْمُهُمْ صَوْنُ اللِّسَانِ عَنِ البُهْتَانِ والكَذِبِ
وَالعَارِفُوْنَ وأَهْـلُ الأُنْسِ صَـوْمُهُمْ صَوْنُ القُلُوْبِ عَنِ الأَغْيَارِ وَالحُجُبِ
“Orang-orang khusus di antara orang-orang yang berpuasa, puasa mereka adalah menjaga lidah dari menuduh dusta dan berbohong.
Sedangkan para ‘arifin dan orang-orang terkhusus, maka puasa mereka adalah menjaga hati dari segala sesuatu selain Allâh dan segala perkara yang menghalangi dari Allâh”.
Semoga Allah menganugerahkan tafiqNya kepada kita sehingga puasa kita termasuk dalam bagian puasa orang-orang yang khusus dan bahkan termasuk puasa orang-orang yang paling khusus. Aamiin.
Oleh: Choirul Ansori M.Pd.I, Pimpinan Yayasan Syahamah Indonesia, Pengurus Lembaga Dakwah PWNU