Jakarta, LIPUTAN 9 NEWS
Nama asli adalah KH. Abdurrazak bin Makmun (Rozak Makmun). Ia dilahirkan Rabi`ul Awwal 1335 H berbareng tahun 1916. Ia adalah cucu dari Guru Mughni ulama besar Kuningan, Jakarta Selatan dari garis ibu. Wafatnya 25 Muharram 1404 H, 1 Nopember 1983 di usia ke-67 tahun. Jenazahnya dikebumikan di sisi makam bapaknya, Guru H. Muhammad Makmun bin Jauhari bin Mi’un di Komplek Masjid Darussalam, Kuningan, Jakarta Selatan.
Saat Guru Makmun tengah memberikan tashwir di tengah santrinya, Abdurrazak kecil tiba-tiba mulai membuat ulah yang tak diperlukan. Karena ulahnya, suasana Tashwir jadi buyar. Tashwir adalah istilah Islam Betawi, artinya membaca, mengartikan, dan menjelaskan kitab.
Guru Makmun, bapak dari Guru Abdurrazak, mulai terganggu dengan ulah anaknya. Tatapan Guru Makmun pada kitab di hadapannya, tak lagi teratur. Konsentrasi terpecah, lirikan pahitnya meminta si anak menyudahi tingkah-laganya. Di kesempatan lain, Abdurrazak sebagai anak kecil hampir tak pernah luput menyertakan diri dalam pengajian yang digelar di rumahnya.
Singkat cerita, Abdurrazak adalah anak yang tumbuh dengan lumrah, kadang nurut, kadang bikin kecut. Namun, bila sudah berani bikin onar dalam tashwir, hanya Abdurrazak kecil pelakunya. Abdurrazak dinilai sudah kebangetan bangornya. Kalau kenakalan anak sezamannya bisa ditangani siapapun untuk menghentikan ulahnya, maka Abdurrazak kecil tidak bisa ditertibkan sama sekali. Jangankan orang lain, isyarat bapaknya sendiri tidak diindahkan. Ia benar-benar tambeng, sudah tidak dengar kata-kata lagi.
Suatu hari, Guru Makmun empet dengan kelaguan anaknya, dan menyiapkan pukulan sebagai hukuman. Perkara dihukum atau tidak, menggantung pada kemampuannya menjawab soal yang dianjurkan Guru Makmun.
“Zak, kemari lu!” perintah Guru Makmun.
“Jadi apa nih Zak kedudukan nahwu-nya?” tanya bapaknya sambil menunjuk secara acak ke dalam “kitab gundul”.
Hukuman pun sudah di ujung tanduk kalau-kalau ia tak sanggup menjawab soal yang disorongkan. Ia mengulur lehernya dengan mata mengejar kata sebelum dan sesudah kalimat yang dimaksud.
“Yang ini jadi fa‘il,” jawab Razak yakin. Dengan jawaban yang tepat, ia lolos dari hukuman karena mengguncang suasana taklim bapaknya.
Meski kadang pegal hati, Guru Makmun sangat yakin akan potensi anaknya. Baginya sebagai orang tua dan guru, dunia anak dengan rupa-rupa kelakuannya masih tetap menyuguhkan harapan. Kekhuatiran orang tua dan guru pada pertumbuhan anak, sama sekali tak beralasan dengan catatan mereka masih dalam kontrol dan arahan pendidikan agama. Keyakinan Guru Makmun, terwujud belasan tahun kemudian.
Berkat disiplin yang kuat dalam mengaji, si anak menjadi kiai yang disegani Mekkah dan Indonesia. Konon, pada suatu kesempatan acara NU tahun 30an, ia menyampaikan pandangan keagamanya, hingga Hadrotus Syaikh KH Hasyim Asy‘ari kagum. Kala itu Abdurrazak yang baru berusia 20 tahun.
Selain mengaji di Jakarta, ia pernah menggali ilmu agama di Mekkah selama 6 tahun. Karena keluasan ilmu fiqhnya, Guru Abdurrazak pernah duduk sebagai Katib Syuriah PBNU 1967-1971. Kiai Bisri Syansuri menyaksikan sendiri dan mengakui kompetensi fiqh kiai Kuningan ini.
Di awal tahun 1945, ia bersama KH. Ali Syibromalisi, pamannya dan KH. Abdussyakur Khairi diutus oleh KH. Ahmad Djunaidi (orang tua H. Mahbub Djunaidi, aktivis kawakan NU) untuk menghadiri Muktamar NU di Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur.
Tiba di Jakarta, ketiganya menggagas pendirian Madrasah Raudhatul Muta’allimin dengan berbadan hukum yayasan. Dengan ilmu dan niat yang suci, mereka melaksanakan amanat muktamar tersebut dalam rangka mengembangkan agama, bangsa dan negara lewat jalur pendidikan. Itikad baik ini disambut baik masyarakat, pengusaha dan para kiai Kuningan, Jakarta Selatan.
Selain tersohor sebagai pendiri madrasah, Guru Abdurrazak juga dikenal sebagai ’singa podium’. Namanya akrab di kuping hampir seluruh penduduk Betawi kala itu. Kiprahnya mulai dikenal orang ketika pada dekade 1950-an dan 1960-an, ia menjadi penceramah utama di Kwitang, di majelis Habib Ali Kwitang, sehingga menjadi kesayangan Habib Ali Kwitang.
Kepeduliannya akan urusan sosial kemasyarakatan, adalah komitmen besar pribadinya. Di tahun 1980-an pemerintah menggalakkan program transmigrasi. Ia seorang kiai yang sangat getol mengampanyekan program tersebut. Tak hanya di podium, ia turun langsung melihat perkembangan para transmigran di Lampung. Alasannya, para transmigran kebanyakan adalah umat Islam. Kalau bukan kiainya, siapa lagi yang mau peduli akan nasib mereka. Di kantong-kantong daerah transmigrasi, Guru Abdurrazak memberikan dukungan moral untuk para transmigran. Di usia senja, ia tetap semangat berkampanye isu transmigrasi yang sangat terkait hajat hidup orang banyak.
KH. Ishak Yahya (1928-1980), pendiri Pesantren Miftahul Ulum, Gandaria, Jakarta Selatan adalah muridnya di Mekkah yang kemudian sangat karismatik di lingkungan NU dan masyarakat umum. Murid-muridnya yang lain kemudian menjadi ulama terkenal adalah KH. Abdul Azdhim Suhaimi, KH. Sidiq Fauzi, KH. Muhammad Zaini Ahmad, KH. Salim Jaelani dan adiknya, KH. Soleh Jaelani, KH. Muchtar Ramli, KH. Abdurrazak Chaidir, KH. Abdul Hayyi, dan KH. Abdur Rasyid. (ASR)