Qanaah pengertiannya adalah (1) bersikap sederhana dan membatasi keinginannya sehingga tidak berlebihan, dan memanfaatkan apa yang dimilikinya untuk kebaikan dan kemanfaatan. (2) merasa cukup dan bersyukur pada apa yang dikaruniakan Allah s.w.t. kepadanya dalam segala hal. (3) menyadari bahwa apa yang dimilikinya, setelah memenuhi kebutukan dirinya dan orang-orang di bawah tanggungannya adalah merupakan bagian yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain yang amat membutuhkan.
Sikap qanaah ini, tidak berarti seseorang tidak boleh kaya, asal kekayaannya itu dimanfaatkan secara wajar, sesuai ketentuan agama. Karena sesungguhnya tidak ada masalah bagi seseorang yang memiliki kekayaan, asal dia tetap bertakwa. Kesehatan bagi orang yang bertakwa adalah lebih baik dari kekayaan dan suasana hati yang berbahagia adalah merupakan bagian dari kenikmatan yang dianugerahkan Allah s.w.t..
Mengenai sikap qanaah ini, banyak diisyaratkan dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, antara lain dalam QS. Al-Qashas:77, Al-A’raf:31-32, dan sebagainya. Intisari dari ayat tersebut adalah: (1) diperintahkan kepada umat manusia agar berusaha meraih apa yang diberikan Allah dalam kehidupan akhirat. Namun demikian, tetap tidak boleh melupakan kehidupan dunia. Setiap diri manusia diperintahkan agar berbuat baik kepada orang lain dan kepada makhluk Allah secara umum.
(2) Allah s.w.t. memerintahkan kepada umat manusia agar memakai pakaian-pakaian yang indah setiap memasuki masjid. Diperintahkan makan dan minum, namun demikain tidak boleh berlebihan. Karena sesungguhnya Allah s.w.t. tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. (3) tidak diperkenankannya bagi seseorang untuk mengharamkan perhiasan yang dikaruniakan Allah bagi umat manusia dan juga tidak boleh menolak rizeki yang baik. Semua perhiasan dan kebaikan itu diperuntukkan bagi mereka yang beriman dalam kehidupan dunia, demikian juga dalam kehidupan akhirat.
Lawan dari sifat qanaah adalah sikap tamak atau rakus, yaitu orang yang senantiasa merasa kurang terhadap kehidupan duniawinya, betapapun banyaknya kekayaan yang dia miliki. Ia bersikap berlebihan dalam segala hal dan senang menumpuk harta kekayaan. Bahkan untuk meraih semua keinginannya, ia melakukannya dengan berbagai cara, tidak memandang halal atau haram.
Dengan demikian, sikap tamak adalah: (1) melanggar batas kewajaran dalam pencarian harta, kedudukan, dan senantiasa mengumpulkannya dengan tidak menyalurkan pada mereka yang berhak. (2) melanggar batasan yang patut, dalam penggunaan harta yang dimilikinya, sehingga sering bersikap berlebihan. (3) menempatkan kehidupan duniawi berupa harta, tahta, dan wanita lebih dipentingkan dari segalanya.
Mengenai sifat tamak ini, Nabi memperingatkan umat manusia agar tidak tergiur dalam kemewahan dunia dan kemilau perhiasannya, sehingga akan menjerumuskan umat manusia. Nabi bersabda:
إنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وإنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كيفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ؛ فإنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ في النِّسَاءِ
Sesungguhnya dunia itu sangat menyenangkan dan menggiurkan, maka sesungguhnya Allah menyerahkan urusannya kepadamu. Allah akan memperhatikan apa yang kamu kerjakan (baik atau buruk). Maka takutlah kamu terhadap fitnah dunia dan fitnah kaum wanita, karena sesungguhnya fitnah yang pertama kali terjadi di kalangan Bani Israil adalah terhadap wanita. (HR. Muslim, 2742).
Mereka yang hidup dalam keadaan qanaah akan memiliki sifat iffah atau sikap menjaga diri dari akhlak yang buruk. Sebaliknya mereka yang bersikap tamak atau rakus akan memiliki sikap yang tercela dan senantiasa melakukan berbagai kegiatan yang meresahkan umat manusia.
Dr.KH. Zakky Mubarok, MA., Dewan Pakar Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) dan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)