Pertanyaan:
Ada yang bertanya: Bolehkah kita berdoa (meminta) agar hal yang mustahil terjadi? Contoh: Doa agar bisa terbang. Jarak yang seharusnya memakan waktu satu jam, kita meminta (berdoa) agar bisa menempuhnya hanya 20 menit. Dan lain-lain.
KH. M. Taufik Damas, Lc., Menjawab:
Dalam berdoa tidak boleh “kurang ajar” terhadap Allah. Abdullah ibn Mughaffal pernah mendengar putranya berdoa seperti berikut:
اللهم إني أسألك القصر الأبيض عن يمين الجنة إذا دخلتها. فقال: أي بني سل الله الجنة، وتعوذ به من النار، فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إنه سيكون في هذه الأمة قوم يعتدون في الطهور والدعاء.
_Ya Allah, sungguh aku meminta kepada-Mu istana putih di sebelah kanan di dalam surga, jika aku masuk surga._
_Ibnu Mughaffal lantas berkata: Hai anakku, mintalah kepada Allah surga dan berlindunglah kepada-Nya dari neraka. Sungguh aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Nanti pasti akan ada dari umatku orang-orang yang berlebihan dalam bersuci dan bedoa._
(HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad).
Contoh sikap “kurang ajar” dalam doa adalah meminta hal-hal yang mustahil, seperti minta bisa terbang, kembali menjadi muda, dan lain-lain.
Namun ada pengecualian, seperti:
1. Doanya para nabi. Mereka punya hak untuk meminta hal-hal yang di luar kebiasaan (khâriqul ‘âdah), karena mereka membutuhkan mukjizat untuk mendukung dakwah mereka. Sebagian ulama juga memasukkan para wali dalam pengecualian ini. Ada wali yang diberikan anugrah (karamah) sehingga sesuatu yang di luar kebiasaan bisa terjadi karena doa mereka.
2. Orang yang dalam kondisi sangat darurat, seperti berada di dalam hutan, kemudian berhadapan dengan segerombolan macan. Dalam kondisi seperti itu, dia boleh berdoa memiliki kekuatan luar biasa hingga mampu melawan gerombolan macan. Atau, minta diselamatkan dengan menghilang. Soal dikabulkan atau tidak, itu hal lain.
Ibnu Taymiah, dalam _Majmû’ al-Fatâwâ_, menyatakan, “Kurang ajar dalam berdoa adalah seperti orang meminta tetap hidup abadi sampai hari kiamat; meminta pertolongan untuk melakukan maksiat (contoh: berdoa agar bisa korupsi tapi selamat, tidak tertangkap pihak yang berwenang, dll); meminta agar dirinya bisa hidup tanpa makan dan minum; meminta agar bisa melihat hal-hal gaib (seperti surga dan neraka); meminta agar dirinya menjadi orang yang tidak pernah salah dan berdosa (ma’shûm); minta punya anak tanpa berhubungan badan. Doa-doa seperti ini merupakan sikap kurang ajar terhadap Allah. Allah tidak suka doa seperti itu dan Allah tidak suka pada orang yang berdoa seperti itu.” (15/22).
Alaudin Al-Hashkafi al-Hanafi, dalam kitab _ad-Durr al-Mukhtar_ (hal. 73), menyatakan, “Haram hukumnya orang berdoa agar dirinya selalu sehat sepanjang umurnya; berdoa agar bisa mendapatkan makanan yang diturunkan dari langit.”
Dalam kitab _Hâsyiah ad-Durr al-Mukhtâr_ (1/522), Ibnu Abidin mengutip pendapat beberapa ulama yang menyatakan haram berdoa untuk terjadinya hal-hal yang mustahil, kecuali doa itu dipanjatkan oleh nabi atau wali.
Dalam kitab _Al-Furûq_, Abul Abbas Ahmad ibn Idris Ash-Shonhaji Al-Qurafi Al-Maliki, menyatakan, “Haram hukumnya berdoa agar hal-hal mustahil bisa terjadi, kecuali bagi para nabi, karena mereka memiliki hak untuk meminta hal-hal yang luar biasa (khâriqul ‘âdah), seperti meminta makanan turun dari langit dan unta keluar dari batu. Begitu pula halnya dengan wali. Dia boleh berdoa untuk terjadinya hal-hal yang luar bisa. Bagi para nabi dan para wali, berdoa seperti itu bukan merupakan kekurangan-ajaran terhadap Allah.” (4/268).
Prinsipnya, manusia biasa tidak boleh berdoa untuk hal-hal yang mustahil, seperti doa Nabi Ibrahim meminta agar diperlihatkan bagaimana Allah menghidupkan orang mati (QS. Al-Baqarah: 260); doanya Nabi Musa meminta agar dia bisa melihat Allah (QS. Al-Araf: 143); doanya Nabi Isa meminta makanan turun dari langit (QS. Al-Maidah: 114); meminta didatangi oleh malaikat agar sang malaikat mengabarkan apa-apa yang terjadi di alam gaib; tidak boleh meminta agar orangtuanya (sudah meninggal dunia) hidup lagi.
Allah menetapkan segala sesuatu terjadi berdasarkan hukum sebab-akibat (kausalitas). Hanya Allah yang berhak mengubah hukum kausalitas pada orang-orang tertentu untuk memperkuat dakwah mereka, bukan karena nafsu manusia biasa.
Nah, menghadapi wabah virus Corona, orang yang tidak taat pada aturan kesehatan, tapi selalu berdoa agar dirinya terlindung dari virus Corona, apakah termasuk orang kurang ajar terhadap Allah?
Tanyakan dirimu sendiri. Wallâhu A’lam.
Oleh: KH. M. Taufik Damas, Lc., Wakil Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta