Jakarta, Liputan9.id – Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) menggelar acara kajian rutin bulanan dengan topik Radikalisme dan Ancaman Kebangsaan di Indonesia Pasca Pemilu 2024, sebagai narasumber Gus Islah Bahrawi. Kegiatan serial LADISNU tersebut diselenggarakan di Resto dan Cafe Dapurempa Kantor LADISNU Jalan Antara No. 12 Pasar Baru Jakarta Pusat, Rabu (24/05/2023).
Gus Islah Bahrawi sebagai narasumber utama menyebut bahwa DNA Islam bukan politik, melainkan akhlak dan rahmat.
“Mengutip pernyataan Imam As-Suyuthi yang mengatakan kitab tentang Rasulullah mewariskan suksesi adalah berbohong karena sanadnya tidak jelas”. Ujar Direktur Ekskutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI) tersebut.
“Rasulullah tidak pernah mewariskan penggantinya dengan isyarat Rasulullah tidak akan mewariskan Islam untuk politik. Terbukti kemudian ketika politik digandeng paksa dalam Islam yang terjadi adalah konflik sesama orang Islam,” tambahnya.
Hal itu bisa dipertegas dengan tulisannya Gus Islah di Twitter mengenai pembunuhan demi pembunuhan di eropa yang terjadi karena intrik politik.
“Politik memecah belah kita, kemudian mengajari kita mengkafirkan sesama orang Islam. Sunni, Syiah bermusuhan 1.400 tahun lebih karena politik, kemudian melahirkan firqah firqah dan fiqih sendiri,” jelas Ketua Yayasan Sinergi Moderasi Nusantara (SMN) itu.
Maka dari itulah Gus Islah menolak politisasi agama, karena dirinya berkeyakinan yang memecah agama apapun adalah politik.
Sedari itu, yang namanya politisasi agama di Indonesia menurutnya sudah berkembang sejak lama dari 2014 hingga 2019.
“Angka perceraian dari 2014 sampai hari ini gara-gara pilihan politik berberda adalah 1.321. Kelompok kelompok politik menarik menjadikan agama sebagai tunggangan, karena agama berbasis dogma. Karena politik ingin membangun dogma didalam partai politik, dan berbagai harokah harokah untuk siasah mereka,” terang Gus Islah.
Pada akhirnya dalam penuturan Gus Islah mereka menemukan agama yang sudah ada dogmanya didalam. Kemudian dogma ini ditempelkan kepada kepentingan politik sehingga orang beranggapan kalau mendukungnya, berarti mendukung agama tersebut.
Hal serupa bukan hanya terjadi di Islam atau Pilkada 2017 DKI Jakarta, melainkan itu juga terjadi juga di Hungaria, Brazil, Mexico, dan bahkan Amerika.
“Praktek praktek ini menjadi trend belakangan ini karena murah dan instan. Hal itu akan berlaku di 2024, apalagi nanti 100 tahun tumbangnya Khilafah dan dihubungkan dengan hadits yang akan melahirkan seorang Mujaddin,” kata Tenaga Ahli Pencegahan Radikalisme, Ekstremisme dan Terorisme Mabes Polri itu.
Politisasi agama menurutnya tidak bisa dibendung karena merupakan kebebasan dari demokrasi. Mereka mengharamkan demokrasi tapi memanfaatkan kebaikan kebaikan demokrasi.
“Kedua, poltik sangat tertarik terhada agama yaitu adanya kemartiran. Dalam artian kalau orang yang memperjuangkan agama, secara otomatis akan masuk surga. Ketiga adalah messianic believe dalam artian membuat kekuasaan di akhir zaman,” jelas Gus Islah.
Tiga hal dalam agama itu menurutnya bisa ditunggangi untuk kepentingan politik. Karena secara faktual, perbedaan itu bisa menciptakan kubu atau klaster dalam Islam maupun agama lain yang ujung-ujungnya adalah saling menyalahkan dan saling mengkafirkan satu sama lain.
“Makanya terorisme itu tidak ada agamanya,” menurut Gus Islah dalam diskusi yang diselenggarakan oleh LADISNU.
“Politisasi agama menurut saya terlepas dari itu menurut para alim ulama menganggap terdapat maslahat atau mudharat, tetapi setiap politisasi agama berujung kepada penghalalan setiap kejahatan,” imbuhnya.
Lebih lanjut secara historis menurut Gus Islah itu bisa dibuktikan, setiap kejahatan yang mengatasnamakan agama akan terlihat terhormat.
“Hal itu yang menjadi pakem oleh kelompok kelompok politik di negara manapun, terlebih khusus di Indonesia yang menunggangi Islam akan menggunakan kendaraan kendaraan agama sebagai alat untuk menjaring kekuatan elektoral,” ucap alumni Pondok Pesantren Syaikhona Moh Cholil Bangkalan ini.
“Hanya satu yang memajukan agama Islam yaitu ilmu pengetahuan, secara historis dan empiris sudah terbukti dan inilah yang harus kita gelorakan. Kalau lewat politik kita selalu gagal, maka formula yang paling tepat adalah ilmu pengetahuan,” pungkasnya.
Karena dengan itu, warisan nabi bisa terjaga (akhlak dan rahmat) dengan cara digandeng ilmu pengerahuan.
Kajian aktual tersebut di moderatori oleh Dr. KH. Ulil Abshar, dan Dr. Zakky Mubarok, MA sebagai pemateri pembanding.
Kegiatan ini pula dihadiri oleh para pengurus LADISNU, HISMINU, P2MI. Disempurnakan dengan doa penutup majelis oleh KH. Abdul Manan, S.Ag., M.M. (MFA)