Jakarta, Liputan9.id – Islam Nusantara sering dipahami sebagai aliran baru yang cenderung sesat dan menyimpang dari Islam. Tidak sedikit yang menuduhnya seakan agama baru. Pandangan negatif tentang Islam Nusantara ini begitu masif karena disuarakan oleh tokoh-tokoh umat yang menjadi panutan. Namun sejauh pengamatan saya, pandangan negatif tersebut lebih banyak berbasis praduga tanpa referensi ilmiah yang memadai. Kalaupun ada, dia dikaitkan dengan referensi tentang suatu paham sesat yang lain dan kemudian disamakan begitu saja dengan Islam Nusantara.
Saking meluasnya paham negatif ini, sehingga semua hal-hal yang menyimpang dari Islam langsung dikaitkan dengan Islam Nusantara. Mengumandangkan adzan dan sholawatan di gereja, suatu ajaran tarekat yang menyimpang, sholawatan dengan joged, atau menggubah kalimat2 Barzanji dengan bahasa Indonesia, semua disangkutpautkan dengan Islam Nusantara. Padahal tidak ada hubungannya sama sekali. Menyimpang ya menyimpang aja, dari dulu ajaran yang semacam itu sudah ada. Bahkan saking sinisnya sampai ada yang bilang kain kafan penganut Islam Nusantara pakai kain batik, bukan kain putih. Weleh.. weleh..
Saya sendiri awalnya termasuk yang skeptis dengan penjelasan mereka yang bersuara negatif, namun semangat ilmiah obyektif mendorong saya mengkaji pendapat-pendapat yang ada, dan kesimpulan saya seperti tulisan diatas. Silakan bila berbeda pendapat, saya sangat menghargai.
Padahal Islam Nusantara bukanlah aliran baru, apalagi agama baru, yang sesat dan menyesatkan. Islam Nusantara hanya istilah baru, bukan barang baru, yang dicetuskan oleh sebagian kyai dan pengurus NU beberapa tahun lalu. Islam Nusantara hanyalah memperjelas kekhasan Islam di bumi Nusantara, tidak lebih. Tidak merubah ajaran Islam sama sekali, apalagi membuat aliran baru. Ajaran Islam ketika diekspresikan oleh suatu kaum, maka terdapat ciri khas disana. Gambaran sederhananya, shalat dimana saja sama, dibelahan bumi manapun itu sama. Namun bentuk masjid, pakaian shalat, bahkan langgam irama bacaan Al-Qur’an seringkali berbeda antar daerah.
Di Arab kita mengenal pakaian gamis, di Pakistan ada Kurta, di wilayah Nusantara kita pakai sarung. Puasa Ramadhan dimana-mana sama, buka puasanya berbeda, ada kurma, ada lontong, ketupat dan sebagainya. Begitu pun dalam budaya keberagamaan, bagaimana tata sosial, politik, dan lainnya memiliki kekhasan masing-masing. Kita bersyukur karena memiliki modal sosial yang kuat di negeri kita, sehingga perbedaan sebanyak apapun (ingat: Indonesia negara sangat plural) tidak membawa konflik yang menghancurkan. Inilah diantara kearifan lokal Nusantara yang berbeda dengan dunia Arab, misalnya, yang kini porak poranda akibat konflik yang menghancurkan dirinya.
Kenyataan lainnya, istilah Islam Nusantara telah diterima oleh banyak ulama, bahkan telah menjadi tema utama Muktamar ke-30 di Jombang, Jawa Timur. Tentu kita yakin para ulama tidak akan mendukung dan sepakat dalam kesesatan bila ia memang sesat. Ulama NU ribuan jumlahnya, tentu tidak bisa disandingkan dengan beberapa tokoh yang berbeda. Meski demikian, saya tetap husnuzzon bahwa pandangan negatif itu berangkat dari rasa keprihatinan dan kepedulian terhadap umat, hanya beda cara memandangnya. Saya tidak mengharap harus sama pandangan kita, namun setidaknya ada ruang toleransi terhadap perbedaan pandangan dengan semangat mencari kebenaran.
Diskusi yang termuat dalam gambar ini akan menghadirkan intelektual NU sekaligus kyai yang sangat mumpuni dan akan menguraikan dengan baik apa dan bagaimana Islam Nusantara itu.
Selamat mengikuti kegiatan kajian rutin bulanan Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) dengan tema-tema aktual. Saat ini mengangkat tema “Islam Nusantara Dalam Perspektif Sejarah” bersama Dr. KH. Ahmad Baso. Silahkan simak dan syiarkan melalui akun Halaman Facebook LADISNU, pada hari Rabu, (04/01/2023. (JFH)
Tulisan ini diadaptasi dari tulisan KH. Jamaluddin F. Hasyim (Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri LADISNU) tentang tema Islam Nusantara.