Jakarta, Liputan9 – UUngkapan populer di kalangan Nahdliyin: “Ketua umum PBNU sesuai dengan masanya”. Tantangan yang dihadapi NU berbeda-beda di setiap masa, maka gagasan serta gaya dan karakter kepemimpinan Ketua Umum PBNU juga berbeda sesuai dengan tantangan yang dihadapi NU di setiap zamannya.
Di masa orde lama, duet kepemiminan KH. Wahab Hasbullah dan KH. Idham Khalid berhasil membawa NU keluar dari pusaran politik perseteruan Masyumi dengan Bung Karno yang merangkul PKI. Kiyai Wahab berhasil membangkitkan kepercayaan diri para pengurus NU dan warga NU yang jatuh ke tingkat paling dasar, akibat caci maki dan hinaan oleh para pendukung Masyumi. Usai NU keluar dari Masyumi, hujatan dan cacian bertubi-tubi diterima NU. Mulai dari NU tak bisa berpolitik, hingga paling parah, NU dituduh sebagai pengkhianat Islam dan pendukung Komunis. Malah dengan sinis, seorang tokoh Masyumi berkata: “Jika kepala Kiyai Wahab dibelah, isinya palu arit”. Kiyai Wahab tak peduli dengan segala tuduhan itu. Usaha Kiyai Wahab sukses, Partai NU berhasil menjadi pemenang ketiga dalam Pemilu 1955.
Di masa Orde Baru, berkat siasat dan kepiawaian politiknya Gus Dur berhasil menyelamatkan NU dari tekanan-tekanan orde Baru. NU menjadi korban kebijakan orde baru yang menekan habis-habisan umat Islam, termasuk di dalamnya NU. De-NU-isasi terjadi di masa orde baru, dimana pengurus-pengurus NU yang menjadi PNS disuruh memilih, menjadi pengurus NU atau tetap menjadi PNS.
Asas tunggal Pancasila dan UU Subversif menjadi alat orde baru untuk menekan NU. Dibawah kepemimpinan Gus Dur, NU secara cerdas menerima asas tunggal Pancasila dalam konteks berbangsa dan bernegara. Tetapi dalam konteks agama, NU menyatakan Pancasila bukan bagian dari agama dan tidak bisa mengganti kedudukan agama.
Setelah menerima asas tunggal Pancasila, tekanan terhadap NU bukan selesai. Upaya menjegal Gus Dur terjadi di Muktamar Cipasung tahun 1994 dengan menggunakan Abu Hasan. Namun usaha itu gagal. Berkat dukungan kuat kiyai-kiyai sepuh, Gus Dur terpilih kembali menjadi ketua umum untuk ketiga kalinya. Gus Dur kemudian menjadi lokomotif gerakan reformasi yang berhasil menumbangkan orde baru. Bahkan ia menjadi presiden ke-5, menggantikan BJ. Habibi.
Prestasi terbesar Gus Dur selama memimpin NU, menurut saya, Gus Dur telah membangkitkan gairah intelektual anak-anak muda NU. Pengaruh Gus Dur paling terasa di kalangan warga NU adalah menumbuhkan dan mengembangkan tradisi intelektual baru di kalangan kaum santri. Gus Dur menghendaki generasi muda Nahdliyyin tidak tersungkup pada tumpukan bahan bacaan klasik pesantren, kitab kuning, atau pun pagar pesantren. Sebagai gantinya, generasi muda NU dipacu untuk menelaah dan mengkaji aneka gagasan dari luar NU dan dunia Islam. Bahkan, bila memungkinkan, mereka didorong untuk meneruskan belajar ke perguruan tinggi Barat. Pemimpin-pemimpin NU dan intelektual-intelektual NU saat ini, seperti KH. Said Aqil Siradj, Yahya Cholil Tsaquf, Ulil Abshar Abdalla, dan banyak lainnya, adalah kader-kader NU hasil didikan Gus Dur. Secara umum, melimpahnya intelektual dan cendekiawan-cendekiawan NU saat ini, boleh dikata adalah pengaruh besar Gus Dur.
Di era reformasi, NU dipimpin oleh KH. Hasyim Muzadi. Kiyai Hasyim adalah sosok yang cerdas, luwes, dan dapat diterima berbagai golongan. Pada masanya, Kiyai Hasyim betul-betul meneguhkan NU menjadi pembawa Islam Rahmatan Lil Alamin. Tantangan NU di masa Kiyai Hasyim adalah potensi benturan peradaban (clash of civilzation) antara Islam dan Barat. Dunia dipengaruhi oleh tesis Samuel Huntington, yang menyatakan bahwa setelah runtuhnya komunisme, musuh barat adalah Islam.
NU ingin membuktikan bahwa tesis Huntington keliru sama sekali. KH. Hasyim Muzadi menginisiasi berdirinya ICIS (International Conference of Islamic Scholars), sebuah forum ulama-ulama dan cendekiawan muslim moderat internasional, sekaligus Ia adalah sekjennya. Melalui forum ICIS, Kiyai Hasyim membawa ide-ide NU tentang konsep islam rahmatan lil alamin, moderasi Islam, dan hubbul wathan minal iman ke dunia internasional sebagai solusi atas kekacauan dunia. Alhasil di bawah Kiyai Hasyim, gagasan-gagasan NU mulai diterima dunia dan PCI NU mulai berdiri di berbagai belahan dunia.
*Membangkitkan Kepercayaan Diri Kembali Warga Nahdliyin*
NU sejak awal tak pernah mendukung segala macam aksi dan gerakan berkedok agama untuk menumbangkan pemerintah yang sah. KH. Said Aqil Siradj menentang keras aksi-aksi Tersebut, baik sebelum dan sesudah aksi 212 di Monas tahun 2018. NU menganggap 212 adalah gerakan berkedok agama yang ingin menumbangkan pemerintah yang sah, yakni pemerintahan Jokowi. “Walaupun diancam atau dirayu, tidak sedikitpun kita bergeser menolak Jumatan di Monas. Satu, karena shalat Jumat di Monas bukan shalat, tapi politik. Kedua, saya tahu siapa di belakangnya yang biayain” Kata Kiyai Said waktu itu.
Akibatnya, pendukung 212 mengerdilkan NU di mana-mana. NU dianggap bukan lagi representasi mayoritas umat Islam di Indonesia. Pengurus NU di daerah-daerah jadi sasaran buly dan caci-maki oleh kelompok 212. Di Solo dan Madura, massa Banser dan Pagar Nusa nyaris bentrok dengan massa 212 karena dianggap sebagai pendukung penista agama dan penjilat penguasa. Kejadian pembakaran bendera HTI saat peringatan Hari Santri di alun-alun Garut oleh Banser semakin menambah panas suasana dan menambah hebat kebencian kepada NU.
Komentar-komentar Kiyai Said sangat pedas kepada kelompok-kelompok radikal, meski resikonya ia dihujat, dicaci, dibuly, dan difitnah di sana-sini. Ia dituduh ulama penjilat, menerima bayaran dari rezim, agen syiah, dan divonis sesat serta kafir oleh orang-orang yang tak senang dengan komentar-komentarnya. Menghadapi berbagai cacian dan fitnah tersebut, Kiyai Said tetap santuy. Ia membalasnya hanya dengan bait-bait syair berikut ini:
يَعْرِفُنَا لاَ مَنْ نَظْرِ فِى عَادِيٌّ اَشْخَاص كُلُّنَا
“ _Kita semua adalah orang biasa dalam pandangan orang-orang yang tidak mengenal kita”._
يَفْهَمُنَا مَنْ نَظْرِ فِى رَائِعُوْنَ اَشْخَاصٌ وَكُلُّنَا
“ _Kita adalah orang yang menarik di mata orang yang memahami kita”._
يُحِبُّنَا مَنْ نَظْرِ فِى مُمَيِّزُوْنَ اَشْخَاصٌ وَكُلُّنَا
_“Kita istimewa dalam penglihatan orang-orang yang mencintai kita_ ”.
يَحْسُدُنَا مَنْ نَظْرِ فِى مَغْرُوْرُوْنَ اَشْخَاصٌ وَكُلُّنَا
_“Kita adalah pribadi yang menjengkelkan bagi orang yang penuh kedengkian_ ”.
عَلَيْنَا يَحْقِدُ مَنْ نَظْرِ فِى سَيِّئُوْنَ اَشْخَاصٌ وَكُلُّنَا
_“Kita adalah orang-orang jahat di dalam tatapan orang-orang yang iri”._
الآخَرِيْنَ عِنْدَ لِتُحْسِنَ نَفْسَكَ تَتْعَبْ فَلاَ نَظْرَتُهُ شَخْصٍ لِكُلّ
“ _Pada akhirnya, setiap orang memiliki pandangannya masing masing, maka tak usah berlelah lelah agar tampak baik di mata orang lain”._
تُدْرَك لاَ غَايَةٌ النَّاسِ رِضَا عَنْكَ اللّٰهُ رِضَا يَكْفِيْكَ
“ _Cukuplah dengan ridha Allah bagi kita, sungguh mencari ridha manusia adalah tujuan yang tak kan pernah tergapai”._
يُتْرَكْ لاَ مَا وَاَدْرِكْ يُدْرَكْ لاَ مَا فَاتْرُكْ تُتْرَك لاَ غَايَةٌ اللّٰهُ رِضَا
“ _Sedangkan Ridha Allah, destinasi yang pasti sampai, maka tinggalkan segala upaya mencari keridhaan manusia, dan fokus saja pada ridha Allah”._
Makna bait-bait syair di atas adalah pendirian seorang sufi, mengingatkan saya pada definisi tasawuf dari seorang Sufi besar Ma’ruf Al Karkhi. Kata Al Karkhi: “Tasawuf adalah merengkuh segenap hakikat ilahi, dan berpaling dari segenap yang ada di tangan makhluk”. Seorang sufi, tak membutuhkan pujian dan tak memperdulikan cacian dari makhluk sebab tujuannya hanya Allah SWT. Seorang sufi akan mengatakan apa yang dia yakini benar, tak peduli dengan pujian dan cacian orang karena yang dituju semata-mata hanya ridha Allah.
Kiyai Said adalah murid Gus Dur. Ia sendiri sering mengatakan bahwa Gus Dur-lah yang membentuk ilmu-ilmu yang diperolehnya selama puluhan tahun di Lirboyo, Krapyak, dan Timur Tengah. Gus Dur mengajarkannya bagaimana cara menggunakan ilmu-ilmunya. Dan seperti gurunya, yang tak menghiraukan apapun pujian dan cacian orang kepadanya, demikian pula Kiyai Said dalam menghadapi badai cacian dan fitnah kepadanya. Dalam berbagai kesempatan di hadapan para pengurus NU, beliau selalu mengatakan: “Jadi ketua NU itu harus nekat, berani, dan siap dicaci maki. Mental dan keberanian ketua umum PBNU harus melebihi pengurus NU yang lainnya”.
Di tengah badai cacian dan fitnah yang melanda NU, baik sebelum dan sesudah aksi 212 -yang mengakibatkan runtuhnya kepercayaan diri para pengurus NU dan warga nahdliyin- Kiyai Said tampil mengembalikan kembali kepercayaan diri warga NU. Ia menginstruksikan kepada kader-kader NU untuk memenangkan pertarungan isu di media sosial. Ia menyerukan seluruh elemen NU untuk melawan radikalisme dan intoleransi di berbagai media. Ia terang-terangan menyatakan Wahabi adalah pintu masuk terorisme. Ia konsisten menyerukan pembubaran ormas-ormas radikal seperti HTI dan FPI. Kiyai said menginstruksikan, kader-kader NU yang berbasis pada karakter tawasuth (jalan tengah) harus mengisi seluruh peran dalam masyarakat, baik peran agama maupun lainnya. Kalau peran-peran di masyarakat tidak diisi oleh kader NU, maka akan menjurus pada penanaman ideologi ekstrem radikal di tengah-tengah masyarakat. Dalam bahasa khas Kiyai Said: “Khotib, Imam Masjid, dai kalau bukan NU salah semua”.
Menurut saya, peran Kiyai Said dalam mengembalikan kepercayaan diri warga NU, sama dengan peran KH. Wahab Hasbullah (meski mungkin, karena faktor adab, Kiyai said akan menolak analogi saya ini) pada tahun 1950-1960-an. Pada tahun 1950-1965 KH. Wahab Hasbullah berhasil mengembalikan kepercayaan warga NU yang dicaci maki hebat karena NU keluar dari Masyumi. Kiyai Wahab keliling Indonesia, Beliau berpidato di hadapan massa NU: “Banyak pemimpin NU di daerah-daerah dan juga pusat yang tidak yakin akan kekuatan NU, mereka lebih meyakini kekuatan golongan lain. Orang-orang ini terpengaruh oleh bisikan orang yang menghembuskan propaganda agar tidak yakin dengan kekuatan yang dimilikinya. Kekuatan NU itu ibarat senjata adalah meriam, betul-betul meriam. Tetapi digoncangkan hati mereka oleh propaganda luar biasa yang menghasut seolah-olah senjata itu bukan meriam, tetapi hanya gelugu alias batang kelapa.” Pidato Kiyai Wahab ini begitu dahsyat pengaruhnya, hingga berhasil mengembalikan kembali kepercayaan diri para pengurus dan warga NU. Terbukti pada tahun 1955 Partai NU berhasil menjadi pemenang pemilu ketiga setelah PNI dan Masyumi.
Sama dengan Kiyai Wahab, Kiyai Said sukses mengkonsolidasikan warga NU dan menyatukan warga NU secara politik untuk memenangkan kader terbaiknya, KH. Ma’ruf Amin menjadi wakil presiden mendampingi Pak Jokowi. Pasangan Jokowi dan KH. Ma’ruf Amin terpilih sebagai presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019 . Baru kali ini suara NU bulat mendukung kadernya dalam pilpres. Biasanya pilihan warga NU tak pernah kompak dalam setiap pilpres atau pilkada sekalipun.
*Prestasi Kiyai Said Memimpin NU Dua Periode*
Dalam laporan pertanggungjawaban PBNU periode 2010-2015 pada Muktamar NU ke-33, di Jombang kemarin, dalam masa 5 tahun kepemimpinannya, NU berhasil mendirikan 24 universitas, banyak rumah sakit, serta puluhan sekolah di seluruh Indonesia. Semua milik NU, bukan milik pribadi warga NU. Di masa kepemimpinannya juga, NU memberikan beasiswa kepada ratusan pemuda NU untuk melanjutkan studi di universitas-universitas ternama di berbagai negara seperti Mesir, Yaman, Maroko, Tunisia, Libya, Amerika, Kanada, Australia, Inggris, dan lain-lain.
Selain itu, di masa kepemimpinannya keuangan PBNU betul-betul transparan, bisa diakses oleh publik karena diaudit oleh auditor independen. Sungguh pencapaian yg luar biasa menurut saya dalam waktu hanya 5 tahun. Maka sangat obyektif bila mayoritas muktamirin memilih dirinya kembali dalam perhelatan muktamar ke-33 di Jombang.
Pada periode kedua kepemimpinan Kiyai Said, universitas NU yang pada periode pertama kepemimpinannya berjumlah 24, kini setiap provinsi sudah berdiri Universitas NU. Bahkan setiap provinsi tidak hanya satu, akan tetapi sampai dua, tiga, dan empat universitas. Begitu juga dalam bidang kesehatan, di periode kedua kepemimpinannya rumah sakit, klinik, dan balai-balai kesehatan sudah berdiri di beberapa provinsi dan kabupaten kota seluruh Indonesia.
Selanjutnya dalam bidang politik, pada periode kedua kepemimpinannya Kiyai Said berhasil membangkitkan kembali kepercayaan diri warga NU yang hampir porak poranda akibat hujatan dan fitnahan, baik sebelum dan sesudah aksi 212. Ia juga sukses mengkonsolidasikan warga NU dan menyatukan warga NU secara politik untuk memenangkan kader terbaiknya, KH. Ma’ruf Amin menjadi wakil presiden mendampingi Pak Jokowi. Pasangan Jokowi dan KH. Ma’ruf Amin terpilih sebagai presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019. Poin ini sudah disinggung di atas.
*Tantangan NU Saat Ini di Mata Kiyai Said*
NU telah memainkan peranan penting dalam membangun bangsa ini sejak berdirinya tahun 1926. Di setiap periode tantangan yang dihadapi NU berbeda-beda, tentu cara menghadapinya juga berbeda pula, menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Namun satu hal yang tidak berubah adalah dalam menjawab setiap tantangan NU senantiasa melandaskan pada Aswaja atau berbasis Aswaja. Kiyai Said sendiri dalam setiap tulisan, ceramah, dan komentarnya ketika membahas suatu masalah selalu memandanganya dari perspektif Aswaja. Berikut ini beberapa tantangan NU saat ini yang dijawab oleh Kiyai Said, yang saya rangkum komentar-komentarnya dari berbagai media di beberapa forum:
1. Radikalisme dan Terorisme
Ke depan, radikalisme masih menjadi tantangan terbesar NU. NU masih harus bekerja keras untuk menangkal virus-virus radikalisme yang dapat merusak sendi kehidupan berbangsa kita. Islam Nusantara harus terus diperkuat dan dikampanyekan ke seluruh dunia, sebagi solusi kemelut ideologis yang melanda dunia saat ini.
Pasca kemengan Taliban di Afghanistan, Kiyai Said meyakini kemenangan Taliban menguasai Afghanistan dijadikan motivasi dan membangkitkan semangat kelompok radikal di Indonesia. Meski dalam masalah aqidah dan syariah antara Taliban dan NU sama, yaitu sama-sama menganut ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah; dalam akidah mengikuti Al Maturidi Fiqh mengikuti Hanafi, dan tarekatnya Naqsyabandiyah, cuma gerakan perjuangannya tidak sama. Kalau NU moderat, mereka keras dan radikal. Dalam hal sifat keras dan radikal tersebut, hal itu bukan karena paham dan madzab yang mereka anut, tetapi karena pengaruh tradisi.
2. Konflik Palestina-Israel
Begitu juga dalam persoalan Palestina, Kiyai Said secara tegas mengatakan bahwa Israel adalah penjajah. Saat berkunjung ke rumah dinas Dubes Palestina untuk Indonesia pada 17 Mei 2021, Ia menyatakan dengan tegas, bahwa Israel adalah penjajah Bangsa Palestina dan penjajahan tersebut sudah berlangsung selama seabad lebih. Agresi Israel terhadap Palestina, untuk kesekian kalinya, telah menimbulkan nestapa kemanusiaan Konflik telah berusia seabad dihitung sejak Deklarasi Balfour 1917, bersumber dan klaim bermasalah Israel atas tanah yang dijanjikan.
Kiyai Said mengatakan, konflik berdarah terus berlangsung sejak Israel secara sepihak, memproklamasikan berdirinya negara Israel pada 14 Mei 1948 tanpa batas wilayah yang jelas Dengan dukungan negara-negara Barat, Israel menegaskan batas wilayahnya melalui perang melawan negara-negara Arab, berturut turut pada 1949, 1967, dan 1973. Dengan kekuatan senjata, Israel menduduki Yerusalem Timur, Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, Gaza, dan Semenanjung Sinai. Klaim teritorial ini tidak diakui mayoritas negara, kecuali Amerika yang mengakui klaim Israel atas seluruh wilayah tersebut. Selama 50 tahun terakhir, Israel terus mengukuhkan pendudukannya dengan membangun permukiman bagi ratusan ribu warga Yahudi, yang sebelumnya minoritas, kini menjadi mayoritas populasi yang menggusur bangsa Palestina.
Sayangnya, dalam menghadapi Israel, para pejuang Palestina terbelah. Fatah setuju solusi dua negara, sebagaimana disepakati dalam Perjanjian Oslo 1993, tetapi Hamas menolak dan tetap ingin mendirikan Palestina berdasarkan Islam, Fatah berhaluan nasionalis sekuler. Kedua faksi terkunci dalam perang saudara sejak 2006, Hamas menguasai Gaza, Fatah menguasa Tepi Barat. Polarisasi faksi-faksi pejuang Palestina ikut menyulitkan proses penyelesaian konflik Israel-Palestina. Untuk itu, Kiyai Said menyarankan kepada Fatah dan Hamas untuk menghentikan konflik. Fatah dan Hamas harus duduk bersama, mengedepankan kepentingan negara daripada kepentingan kelompok, sebagaimana dulu kelompok nasionalis dan Islam bersatu dalam mengusir penjajah dari negeri kita.
3. Problem Kesejehateraan Umat
Menurut Kiyai Said, tantangan NU berikutnya adalah problem kesejahteran umat berupa ketertinggalan, kemiskinan, pendidikan rendah, dan mahalnya biaya pengobatan (mayoritas warga NU adalah masyarakat pedesaan dan menengah ke bawah). Pidato Kiyai Said dalam Harlah NU ke-94 di Kantor PBNU, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Jumat 31 Januari 2020 menyatakan, pemerintah harus mulai memfokuskan pengelolaan sumber alam dan merancang anggaran negara untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Pemerintah harus berpihak kepada kalangan mustadh`afin (kalangan tidak mampu). Pemerintah tidak punya pilihan lain mengingat saat ini masih banyak sektor-sektor ekonomi strategis yang pengelolaannya dikuasai segelintir konglomerat saja, baik pribumi maupun asing.
Pidato Kiyai Said dalam Pengukuhan PBNU periode 2015-2020, 5 September 2015, mengutip QS. An-Nisa: 114: “Tidak ada kebaikan, pada kebanyakan pembicaraan-pembicaraan rahasia mereka, kecuali untuk menyuruh manusia memberi sedekah, atau menghadirkan kebaikan, atau mengupayakan perdamaian antara umat manusia”, Kiyai Said menyatakan ada tiga fungsi pokok harakah (gerakan) islamiah: Pertama, maksud “menyuruh manusia memberi sedekah” adalah pengentasan kemiskinan dan menghadirkan kesejahteraan untuk umat. Kedua, maksud “menghadirkan kebaikan” artinya menghadirkan harapan-harapan, yakni Islam menekankan pentingnya pengetahuan untuk membangun peradaban. Ketiga, maksud “mengupayakan perdamaian antara umat manusia” ialah umat Islam harus mampu menjadi jembatan islah, rekonsiliasi masyarakat.
Kiyai Said juga menyatakan, membela Islam tak lain membangun peradaban berlandaskan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Aswaja. Dalam bukunya, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi, Ia menyatakan: Islam mengajarkan kita bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif dan produktif. Dengan tidak melupakan orisinilitas ajaran Islam; bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Implementasi membangun peradaban yang dimaksud oleh Kiyai Said, adalah mengembangkan ilmu pengetahuan dan melakukan kerja kongkret untuk kemajuan Islam.
4. Tantangan Kebudayaan
Dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang tahun 2015 lalu, NU mengangkat tema Islam Nusantara. Sejak awal NU mengusung Islam Nusantara sudah mengundang perdebatan dan polemik di sana-sini. KH. Said Aqil Siradj sebagai pengusung Islam Nusantara, menjelaskan bahwa Islam Nusantara bukanlah mazhab baru, ajaran baru, atau aliran baru, akan tetapi Islam yang tidak menghapus budaya, Islam yang tidak memusuhi tradisi, Islam yang tidak menafikan atau menghilangkan kultur. Islam Nusantara adalah Islam yang mensinergikan nilai-nilai universal bersifat teologis dari Tuhan yang ilahiah dengan kultur budaya tradisi yang bersifat kreativitas manusia atau insaniah. Islam atau umat Islam yang berkembang di kawasan Nusantara, yang kita warisi dari para wali atau ulama leluhur kita. Mereka telah berhasil menyebarkan Islam ke seluruh Nusantara, mereka berhadapan dengan Majapahit, Sriwijaya, dan kerajaan-kerajaan lain. Berhasil mengislamkan bangsa ini tanpa kekerasan, tanpa berdarah-darah, tapi dengan pendekatan budaya akhlakul karimah. Menunjukkan Islam itu beradab, bermartabat, disiplin, dan bersih penampilannya.
Islam Nusantara harus menjadi basis dalam membangun kebudayaan kita. Kebudayaan menjadi nafas dan pondasi cara berpikir, sikap serta perilaku Indonesia, bahkan sebelum hadirnya Indonesia sebagai negara/bangsa. Kebudayaan sejak dulu tidak dapat dipisahkan dari denyut nadi masyarakat Nusantara. Wali Songo, misalnya, melalui kreasi adilihung wayang, tembang-tembangan, dan alat musik tradisional, Wali Songo berhasil membangun dialog antara budaya dan agama. Menjaga keselamatan Indonesia ini tidak cuma secara geografis (batas negara), tetapi keselamatan budaya, akhlak, dan moral.
Dalam berbagai kesempatan Kiyai Said sering mengatakan, silakan belajar ke Arab, ke Eropa, tapi sepulang ke Indonesia jangan membawa budayanya. Budaya kita lebih baik daripada budaya asing. Pandangan ini bukan berarti kita memandang rendah budaya asing (chauvinis) atau fasis, akan tetapi upaya untuk melindungi kebudayaan kita dari serbuan budaya asing dalam setiap aspek kehidupan kita. Konflik yang tak kunjung usai di Timur Tengah karena di sana tidak ada organisasi kemasyarakatan yang belum bisa merumuskan hubungan agama dengan Negara. Sementara kita, sudah selesai sejak masa Wali Songo. Sementara di tempat yang berbeda, di Barat, mereka menyisihkan agama dalam kehidupan mereka. Akibatnya, masyarakat Barat terkungkung dalam individulisme dan hedonisme sehingga memandang hidup hanyalah sebatas pemenuhan materi (materialisme).
5. Kesimpulan
Uraian panjang di atas pada akhirnya menyajikan kesimpulan, sosok yang memimpin NU itu sesuai dengan tantangan yang dihadapi NU di setiap zamannya. Kita tak melebihkan antara ketua umum satu dengan lainnya, tetapi menyatakan semua Ketua Umum PBNU adalah orang-orang terbaik di masanya, yang telah memberikan segenap pikiran, tenaga, dan kemampuannya untuk membesarkan organisasi yang didirikan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari ini.
Namun demikian, untuk saat ini, melihat sepak terjang dan prestasi luar biasa Kiyai Said selama memimpin NU dua periode 2010-2015 dan 2015-2020, maka menurut saya, saat ini beliau masih dibutuhkan untuk memimpin NU periode berikutnya. Keilmuan, pengalaman, ketegasan, keberanian, pengaruh kuat terhadap pemerintah, dan pandangan beliau yang luas dengan selalu berpijak pada perspektif Aswaja dalam memandang setiap persoalan, masih sangat dibutuhkan oleh warga Nahdliyin saat ini.
Tantangan NU, kondisi Geo Politik Global, dan konstelasi politik dalam negeri diperkirakan sampai 5-6 tahun ke depan masih sama kondisinya seperti saat tulisan ini dibuat. Oleh karena itu warga nahdliyin masih membutuhkan pemimpin yang kuat, berkarakter, memiliki daya tawar kuat terhadap pemerintah, bekerja nyata untuk warga NU, sikap yang tegas terhadap Israel (tidak retoris dan ambigu), serta mampu membangkitkan kepercayaan diri warga NU yang jatuh karena badai hujatan dan cacian. Dan semua kriteria ini ada pada KH. Said Aqil siradj.
Oleh: KH. M. Imaduddin, Koordinator Jaringan Santri Nusantara dan Sekretaris Majelis Dakwah Nusantara (MADINA)