Pada bagian ketiga ini, saya akan meresensi atau meringkas wacana mengenang peran intelektual Jaringan Islam liberal (JIL) dalam diskursus Islam Indonesia. Di bagian akhir, saya akan memberi catatan apresiasi kritis terhadap pemikiran pembaruan Islam yang disuarakan oleh JIL.
Secara khusus, JIL mulai aktif pada Maret 2001 dengan menggelar kelompok diskusi maya (milis) yang tergabung dalam islamliberal@yahoogroup.com. Kemudian, gagasan-gagasan JIL juga disebarkan lewat website islamlib.com. Sejak Juni 2001, JIL mengisi salah satu halaman Jawa Pos Minggu, dan di puluhan koran jaringannya, dengan artikel dan wawancara seputar perspektif Islam liberal. Tiap Kamis malam, JIL menyiarkan talk show dan diskusi interaktif dengan para kontributor dan tokoh Islam yang sepaham dengan mereka, melalui kantor Barita Radio 68H Utan Kayu, dan disiarkan juga oleh beberapa radio jaringannya.182-83
Selain Luthfi Assyaukanie dan Ulil Abshar-Abdalla, terdapat tiga tokoh perdana yang sangat aktif di JIL, yaitu Akhmad Sahal, Hamid Basyaib, dan Saiful Muzani. Menurut Prof Mediaa Zainul Bahri, jika melihat proses “pematangan” Islam intelektual para penggagas JIL, maka sesungguhnya Ulil, Luthfi, dan Sahal adalah santri yangg berlatar belakang pesantren tradisional dengan penguasaan kitab-kitab klasik Islam yang memadai. Pengetahuan Islam tradisional mereka kemudian dipertajam dan diperluas dengan wawasan filsafat Islam, filsafat Barat, sosiologi modern, dan ilmu politik yang mereka pelajari di perguruan tinggi. Karena itu, JIL memiliki fondasi tradisional Islam yang kuat, tetapi mereka “melampauinya” dengan pisau analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora modern. Dalam pengertian ini, JIL bukanlah komunitas muslim yang sedang “bermain-main” dengan Islam atau hanya ingin tampil beda semata, melainkan memang memiliki “cita rasa” Islam intelektual.
Dalam pembacaan Media, ada empat faktor yang paling signifikan yang memunculkan gerakan JIL secara agresif. Pertama, konteks global. Kemunculan Islam liberal Indonesia tak bisa dilepaskan dari perkembangan global ketika banyak negara di planet bumi ini mengalami perubahan besar dan mendasar, terutama tuntutan demokratisasi dalam kehidupan sosial, politik, dan keagamaan. Agama, dalam alam demokrasi, harus diredefinisikan agar sesuai dengan tuntutan kehidupan yang demokratis, seperti soal hubungan agama dan negara, kesetaraan jender, pluralisme, HAM, hubungan dengan non-Muslim, dan lain-lain. Hanya agama dalam definisi, spirit, dan bentuknya yang progresit setelah direkonstruksi, yang dapat menyesuaikan diri dengan alam demokrasi. Dalam pengertian inilah, para pemikir Muslim Indonesia, termasuk tokoh-tokoh JIL, “mengidolakan” para sarjana Barat dan Timur yang dianggap progresif dan liberal, seperti Abdullah Ahmad an-Na’im, Farid Esack, Hassan Hanafi, Mohammed Arkoun, Abid al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid, Abdul Karim Soroush, Muhammad Syahrur, dan lain-lain. Pemikiran keislaman mereka dianggap cocok dengan perubahan dunia yang sedang terjadi saat itu.
Kedua, era Reformasi—dengan tumbangnya rezim Orde Baru—membuka keran kebebasan berekspresi dan berpendapat. Dalam kehidupan keagamaan, banyak muncul paham Islam garis keras yang diimpor dari Timur Tengah, suatu model Islam yang sebenarnya tidak cocok dengan Indonesia. Pada momen ini, skripturalisme dan fundamentalisme Islam menguat. Muslim skripturalis terus menyuarakan pentingnya formalisme Islam (syariah) bagi masyarakat Indonesia.
Kemunculan JIL tidak semata karena euforia Reformasi, melainkan juga usaha untuk melawan fundamentalisme dan formalisme Islam itu. Karenanya, relevan ungkapan Luthfi bahwa salah satu misi Islam liberal adalah “mengembalikan semangat kebangkitan pemikiran Islam yang sejak satu abad silam telah dibajak oleh konservatisme dan fundamentalisme agama.” Benar, di dunia Islam, telah satu abad, tetapi di Indonesia baru beberapa tahun fundamentalisme Islam menguat. Bagi JIL, fundamentalisme Islam ala Timur Tengah itu berlawanan dengan sejarah berabad-abad Islam kultural Indonesia yang moderat dan toleran.
Ketiga, diskursus Islam intelektual telah menyebar luas di banyak IAIN di Indonesia (sekarang UIN). Hal ini terjadi karena banyak dosen IAIN yang telah pulang dari pendidikannya di Barat. Selain membawa gelar master dan doktor, mereka juga membawa isu-isu baru, seperti Islam dan pluralisme, Islam dan demokrasi, Islam dan HAM, Islam dan konsep nation-state, Islam dan dialog antar-agama, dan lain-lain. Penting dicatat bahwa dengan sumber daya manusia unggul, IAIN dan UIN di kota-kota besar di Indonesia memainkan peran yang sangat signifikan dalam mengembangkan kajian teoretis studi keislaman (Islamic studies) di satu sisi, dan menyebarkan gagasan Islam moderat, bahkan Islam liberal, di sisi lain.
Tokoh-tokoh UIN, terutama di Jakarta dan Yogyakarta, setelah Harun Nasution dan Mukti Ali, seperti Azyumardi Azra dan Abdul Munir Mulkhan dengan isu Islam kultural Indonesia, Komaruddin Hidayat dan Amin Abdullah dengan diskursus hermeneutika, Din Syamsuddin dan Bahtiar Effendi dengan politik Islam Indonesia, dan Nasaruddin Umar dengan isu Islam dan kesetaraan gender adalah para penopang yang kuat bagi eksistensi dan masa keemasan JIL pada periode 2000-an. Mereka “dimanfaatkan” menjadi para kontributor utama dalam acara-acara yang digelar JIL. Tentu saja, JIL mendapat dukungan dari tokoh senior, seperti Gus Dur dengan NU, Cak Nur dengan Paramadina, dan dua tokoh senior lain, Djohan Effendi dan Dawam Rahardjo. JIL dan para tokoh itu kemudian menjadi semacam “elite Islam Indonesia” yang menjadi rujukan kaum muda Muslim Indonesia yang progresif.
Keempat, Islam kultural yang toleran yang selama ini dikampanyekan oleh NU, Muhammadiyah, dan Paramadina, bagi JIL, adalah bagian dari kehidupan keseharian dan keislaman mereka. Para tokoh dan simpatisan JIL hampir seluruhnya adalah anak-anak muda yang dibesarkan di lingkungan NU dan Muhammadiyah. Mereka tidak semata merasa berkewajiban menjaga Islam kultural, tetapi juga ingin mengembangkannya menjadi Islam intelektual dengan spektrum yang lebih luas dan mendalam. Dalam konteks ini, harus dipahami bahwa tiga figur senior, yaitu Harun Nasution dengan Islam rasional, Cak Nur dengan Islam peradaban dan kemodernan, dan Gus Dur dengan pribumisasi Islam dijadikan ikon-ikon yang banyak diapresiasi oleh tokoh-tokoh JIL.
Lalu apa pengertian Islam liberal dan apa agenda utama JIL?
Menurut Ulil, makna “liberal” dan pengertian “Islam liberal” sering kali disalahpahami oleh banyak Muslim Indonesia. Menurut Ulil, banyak Muslim yang memahami bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, sebuah sikap permisif, ibahiyah (serba boleh), sikap menolelir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang seperti ini, Islam liberal dianggap sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga, bahkan dianggap sebagai “musuh” Islam itu sendiri. Padahal, kata Ulil, tidak begitu pengertian Islam liberal. Ulil menulis:
Bahwa dengan membubuhkan kata “liberal” pada Islam sesungguhnya saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah niat atau dorongan-dorongan emotif-subjektif dalam manusia itu sendiri. Dan, sebaiknya kata “liberal” dalam “Islam liberal” dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak tersangkut paut dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan “intrinsik” dalam diri manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri.
Menurut Ulil, kebebasan memiliki nilai yang tinggi dalam Islam karena ia berhubungan langsung dengan penggunaan nalar dan keagungan martabat manusia. Agama tidak diturunkan bagi keledai yang dungu, tetapi bagi manusia yang memiliki kemampuan untuk memaksimalkan akal dan nalarnya. Nabi menyebut: “Ad-diin huwal ‘aql. Laa dina limal laa ‘aqla lahu (Agama adalah akal. Tidak ada agama bagi mereka yang tidak mempunyai akal).”
Menurut Ulil, yang terlihat menonjol di dunia Muslim adalah “bahasa kewajiban”, yaitu tekanan-tekanan kewajiban menjalankan syariah kepada Tuhan. Bahasa “hak dan kebebasan manusia” jarang muncul. Dalam pengertian inilah, Islam liberal muncul untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak.
Secara lebih spesifik, Luthfi menyebut istilah “Islam liberal” berarti “pembebasan” kaum Muslim dari dua hal. Pertama, dari cengkeraman kolonialisme yang menguasai hampir seluruh dunia Islam di masa lalu. Kedua, pembebasan kaum Muslim dari pola pikir dan sikap keagamaan yang jumud dan menghambat kemajuan. Pembebasan yang kedua ini adalah yang masih relevan dan kontekstual untuk terus dikembangkan. Pola pikir yang jumud biasanya akan melahirkan sikap keagamaan yang konservatif dan fundamentalis, dalam pengertiannya yang negatif. Karena itu, menurut Luthfi, “musuh utama” Islam liberal adalah konservatisme dan fundamentalisme yang menghinggapi sebagian besar kaum Muslim. Termasuk dalam fundamentalisme adalah ide teokrasi yang ingin dipertahankan kaum Muslim fundamentalis.
Sedangkan mengenai agenda pokok JIL, milis resmi JIL menyebutkan beberapa agenda: (1) Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam; (2) Mengutamakan semangat religio-etik, bukan makna literal teks; (3) Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka, dan plural; (4) Memihak pada yang minoritas dan tertindas; (5) Meyakini kebebasan beragama; dan, (6) Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik. Luthfi, menyebut empat agenda utama yang harus menjadi perhatian para pembaru Muslim, termasuk JIL: (1) Agenda politik. Ide negara teokrasi harus dilawan; (2) Hubungan Muslim dan non-Muslim. Untuk memperkuat hubungan itu, ide tentang teologi pluralisme harus dikembangkan; (3) Memberdayakan peran perempuan. Untuk agenda ini, kaum Muslim harus memikirkan kembali ajaran-ajaran Islam yang cenderung merugikan dan mendiskreditkan kaum perempuan; dan,(4) Kebebasan berpendapat harus mendapat prioritas dalam kehidupan kaum Muslim modern. Islam sangat menghormati HAM, dan karena itu juga sangat menghormati kebebasan berpendapat.
Untuk menyuburkan kebebasan berpikir dalam Islam, Islam liberal mendorong kreativitas berijtihad. Abdul Moqsith Ghazali, salah seorang tokoh JIL, menegaskan bahwa Islam harus dikembalikan ke posisi awalnya sebagai agama yang membebaskan dan mencerahkan. Islam harus liberatif untuk mengatasi keterbelakangan kaum Muslim. Islam harus dibersihkan dari beban-beban sejarah masa lalunya yang kelam. Islam, yang saat ini telah banyak dimanipulasi oleh elite-elite ulama sehingga tampak kacau-balau, harus dipulihkan kembali dengan cara menyemarakkan aktivitas ijtihad. Hanya ijtihad cara yang paling efektif untuk menghidupkan kembali rasionalitas Islam. Di sinilah relevansi dan signifikansi peran-peran intelektual JIL.
* * *
Dalam lintasan spektrum waktu, tepatnya pada 18 November 2002, panggung Islam Indonesia dihebohkan oleh tulisan Ulil di Kompas. Di koran dengan oplah terbesar di Indonesia itu, Ulil menulis sebuah opini bertitel “Menyegarkan Kembali Pemikiran lslam.” Dalam tulisan itu, Ulil terlihat “geram” sekali dengan kaum fundamentalisme Islam. Ada empat hal pokok isi tulisan itu. Pertama, soal jilbab, potong tangan, qishash, hukum rajam, jenggot, dan jubah tidak wajib diikuti oleh kaum Muslim karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Kedua, menurut Ulil, tidak ada “hukum Tuhan” dalam pengertian yang biasa dipahami oleh umat Islam. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum universal yang disebut dengan maqashidusy syari’ah (tujuan umum syariat Islam).
Ketiga, kaum Muslim tidak wajib mengikuti Rasul secara harfiah sebab apa yang dilakukan oleh Rasul di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal dengan situasi sosial Madinah beserta seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara yang “universal” dengan yang “partikular.” Lagi pula, kata Ulil, Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka bumi. Keempat, adanya kecenderungan umat Islam Indonesia yang “memonumenkan” Islam hingga Islam menjadi agama yang beku dan mati. Seolah-olah Islam adalah “paket” Tuhan yang taken for granted, tidak bisa dipikirkan dan diperdebatkan lagi. Karena itu, Ulil mengajak pembacanya untuk mengembangkan Islam yang hidup, yang segar, yang cerah, yang lebih dapat memenuhi maslahat umat manusia.
Kontan saja, setelah tulisan itu tersebar luas, muncul kemarahan umat Islam di mana-mana dan menganggap Ulil telah “menghina” Islam. Suara Hidayatullah, sebuah majalah bulanan milik Muslim konservatif, membuat jajak pendapat dengan pertanyaan: setujukah bahwa tulisan Ulil telah menghina Islam? Jawaban responden: 78,15% setuju, 17,68% tidak setuju, dan 4,17% tidak tahu. Tulisan Ulil juga telah membuat 80 ulama Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat yang tergabung dalam Forum Ulama-Umat Indonesia (FUUI) berkumpul di Bandung pada 1 Desember 2002. Hasil dari pertemuan itu sangat mengejutkan. Para ulama menuntut Ulil—dan siapa pun yang telah menghina lslam, Allah SWT dan Rasulullah Saw—untuk “dihukum mati.” Untuk mengeksekusi tuntutan itu, FUUI kemudian melaporkan Ulil ke POLRI. Ulil sendiri mengaku merasa agak takut meskipun ia menilai “fatwa” FUUI itu tidak kredibel karena NU dan Muhammadiyah tidak ikut menandatangani.
Menurut Media, peristiwa itu membuat JIL semakin populer dan menjadi buah bibir di tengah masyarakat. Ulil dan JIL “dikutuk” di mana-mana, namun juga didukung oleh kaum muda Muslim progresif. Bagi kaum muda Muslim, pemikiran Ulil dan para pembaru yang lain adalah sebuah “harapan'” akan kelangsungan dan masa depan Islam itu sendiri. Agama yang hidup adalah agama yang bisa beradaptasi menghadapi perubahan. Adaptasi dan reformasi tafsir keagamaan tidak akan menghilangkan prinsip pokok ajaran agama. Kaum beragama harus berusaha mengadaptasi dan memahami setiap konsep-konsep baru yang berkembang di dunia modern untuk diselaraskan dengan jiwa dan nilai agama. Jika mereka menemukan kontradiksi, mereka akan menafsirkan ulang doktrin-doktrin lama yang mereka anut agar sesuai dengan semangat zaman yang dihadapi.
Apakah setelah kegaduhan akibat fatwa FUUI itu Ulil menjadi bungkam? Ternyata, tidak. Tokoh-tokoh Muslim moderat di NU, Muhammadiyah, UIN, dan Paramadina membelanya sehingga Ulil merasa memiliki banyak dukungan. Bagi Ulil, agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia. Dan, karena manusia adalah organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif dan kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Karena itu, yang dibutuhkan adalah “agama yang hidup” atau “Islam yang hidup” sebagai lawan dari “Islam yang mati” milik kaum fundamentalis.
Salah satu bentuk Islam yang hidup adalah mengapresiasi pluralisme. Untuk isu ini, Ulil memulai dengan cara mendekonstruksi pandangan kaum Muslim bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan sempurna. Menurut Ulil, pandangan ini begitu kuat di abad 20 ketika kaum Muslim inferior di hadapan modernitas dan peradaban Barat yang unggul. Padahal, jika menelaah tradisi penafsiran Al-Qur’an pada periode klasik (antara abad ke-8 hingga ke-12 M, periode di mana kegiatan intelektual dalam dunia Islam mencapai puncak kreativitasnya), konsep “kelengkapan/kesempurnaan” itu tidak terlalu mendapatkan perhatian yang khusus. Saat itu, Islam sedang berada di puncak tertinggi peradaban. Karena itu, konsep kesempurnaan tidak terlalu dimunculkan oleh para sarjana Muslim saat itu.
Menurut Ulil, kaum muslim harus merumuskan kembali konsep kesempurnaan itu melalui dua penafsiran yang progresif. Pertama, kesempurnaan itu terletak pada aspek akidah dan norma umum. Norma-norma umum ini yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh para sarjana Muslim menjadi norma khusus. Misalnya, dalam Al-Qur’an, ada ayat yang menyebutkan tentang pentingnya melakukan musyawarah di antara kaum Muslim. Konsep musyawarah ini ternyata kompatibel dengan model demokrasi modern. Kedua, watak kesempurnaan Islam artinya sebuah watak dan sikap yang terbuka untuk menerima berbagai kebenaran dan kekayaan dari berbagai agama dan tradisi lain. Jadi, kesempurnaan justru bermakna kesanggupan untuk menampung berbagai kebenaran dari orang lain, bukan malah ketertutupan. Karena itu, menurut Ulil, kebenaran ada di mana-mana di luar kaum Muslim: ada di agama Zoroaster, Yahudi, Kristen, dan lain-lain. Dengan merujuk kepada Fazlur Rahman, justru ciri orang bertakwa adalah rendah hati, yaitu sikap mau menerima hikmah (wisdom) dari orang lain.
Terkait konsep pluralisme agama, Abdul Moqsith Ghazali, akademisi UIN Jakarta yang pernah menjadi Direktur Eksekutif JIL periode 2008-2013, menulis sebuah buku akademik berjudul: Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an. Buku ini adalah disertasi doktoralnya dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Moqsith mendiskusikan tema-tema pokok yang cukup sensitif di kalangan kaum Muslim, yaitu soal toleransi dan kebebasan beragama, pengakuan akan keselamatan umat non-Muslim, doktrin tentang kafir, syirik, ahli kitab, kebolehan menikah dengan pasangan non-Muslim, soal perbedaan jihad dan perang. Tema-tema itu dieksplorasi menurut ayat-ayat Al-Qur’an dan perspektif para mufasir. Moqsith mengurai secara detail pandangan para ahli tafsir, baik yang klasik maupun yang modern, baik yang eksklusif maupun yang inklusif, kemudian mengarahkan pembicaraan ke arah tafsir Al-Qur’an yang humanis dan progresif dalam bingkai Islam yang pluralis. Yang istimewa dalam karya itu adalah bahwa Moqsith berhasil menyajikan wawasan Al-Qur’an dan perspektif para mufasir mengenai doktrin Islam yang bersifat lokal-partikular dan ajaran lain yang humanis-universal.
Gagasan pluralisme agama yang diusung Cak Nur, Gus Dur, Djohan Effendi, dan diperkuat oleh tokoh-tokoh JIL mengundang kemarahan kaum Muslim konservatif. Bagi mereka, pandangan yang ingin menyetarakan Islam dengan agama-agama lain sangat membahayakan akidah kaum Muslim. Melalui lobi-lobi mereka yang cukup intens kepada MUI, akhirnya pada 2006 MUI mengeluarkan fatwa haram bagi paham pluralisme agama. Dalam fatwa itu, MUI menjelaskan bahwa yang dimaksud pluralisme agama adalah “suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama yang berbeda-beda akan masuk surga dan hidup berdampingan di dalamnya.” Dengan paham seperti itu, maka bagi MUI, “pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.” “Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama.” Bagi MUI jelas, secara teologis, kebenaran dan keselamatan di akhirat hanya milik agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw dan hanya Islam satu-satunya agama yang mendapatkan ridha Tuhan.
Segera setelah fatwa itu diumumkan, para tokoh Islam moderat dan liberal berkumpul untuk memberikan reaksi yang sangat keras. Dalam konferensi pers, secara bergantian, Gus Dur, Syafii Ma’arif, Azyumardi Azra, dan Ulil memberikan pernyataan yang berisi keprihatinan atas fatwa itu dan mengkritik keras MUI. Menurut Gus Dur, dengan fatwa itu, MUI seolah-olah menutup mata atas kemajemukan Indonesia, namun di sisi lain ingin tetap hidup di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Ulil sendiri secara emosional menyebut para ulama dalam MUI bukanlah orang-orang yang berilmu (ulama), melainkan orang-orang yang bodoh (juhala).
Dalam perspektif JIL, gagasan dan praktek mengenai Islam yang hidup dan pluralisme agama tidak akan tumbuh berkembang di negara yang menganut “negara Islam”. Karena itulah, sejak awal JIL menolak konsep negara teokrasi dan mendukung konsep negara-bangsa (nation state) dengan sistem demokrasi. Menurut Luthfi, Islam liberal meyakini bahwa urusan pemerintahan dan politik adalah persoalan ijtihad manusia, dan bukan sesuatu yang baku yang datang dari masa silam dan dipaksa untuk diterapkan bagi manusia modern. Argumen formalisme negara Islam tak lagi memadai untuk menjawab kompleksitas kehidupan masyarakat modern yang mengidealkan pluralitas, persamaan hak, dan demokrasi. Bagi Luthfi, Islam liberal meyakini bahwa dasar negara harus dikembalikan kepada unsurnya yang paling luhur, yaitu keadilan dan persamaan, dan bukan pada formalisme monolitik seperti yang dikampanyekan kaum Muslim fundamentalis, yang hanya akan memecah-belah masyarakat yang heterogen.
Dekonstruksi Sakralitas Al-Qur’an
Selanjutnya dengan mengambil inspirasi dari seorang ulama klasik ahli kajian Al-Qur’an, Imam as-Suyuthi, dan beberapa sarjana Muslim modern, seperti Fazlur Rahman dan Arkoun, tiga tokoh JIL, Ulil Abshar-Abdalla, Luthfi Assyaukanie, dan Moqsith Ghazali, menulis beberapa artikel kritis tentang sejarah Al-Qur’an, proses kodifikasi Al-Qur’an, kemungkinan kesalahan gramatik Al-Qur’an, dan bagaimana seharusnya kaum Muslim memperlakukan Al-Qur’an. Puncaknya, tiga tokoh JIL itu menulis satu buku berjudul Metodologi Studi al-Quran. Menurut mereka, Al-Qur’an harus dilihat dalam dua hal yang berbeda. Pertama, ia adalah wahyu aural, wahyu yang didengarkan. Kedua, Al-Qur’an harus dilihat sebagai kitab suci yang ditulis (scripture) dan dikodifikasi. Ada proses manusiawi atau proses sejarah dalam penulisan dan kodifikasi Al-Qur’an.
Wahyu atau wahyu aural adalah sesuatu yang berada di alam Ilahi, bukan di area manusiawi. Klaim penerimaan wahyu oleh kaum Muslim adalah klaim subjektif yang berada di luar nalar ilmiah. Persoalan wahyu sepenuhnya adalah persoalan keimanan, dan bukan persoalan ilmu pengetahuan. Karena itu, klaim keterjagaan Al-Qur’an, seperti firman-Nya: “Kami yang menurunkan al-Quran dan Kami pula yang menjaganya” (QS. Al- Hijr 15: 9), harus dipahami bukan dalam konteks manusiawi, tetapi dalam konteks llahi.
Sebaliknya, berbeda dengan hal itu, menurut ketiga tokoh JIL itu, penulisan dan kodifikasi Al-Qur’an adalah proses panjang pengumpulan, penyeleksian, pengeditan, dan percetakan hingga akhirnya menjadi sebuah buku suci. Menjadi jelas bahwa penulisan adalah proses manusiawi yang bisa diuji dan diverifikasi secara objektif. Proses penulisan kitab suci tak lebih dari sekadar proses penulisan buku, melibatkan berbagai unsur: budaya, bahasa, politik, dan kekuasaan. Dari sini harus dipahami bahwa, menurut tiga tokoh itu, sakralisasi Al-Qur’an berkaitan erat dengan proses pembentukan dan perjalanan wahyu sebagai kitab suci. Proses sakralisasi berkembang seiring proses penulisan dan kodifikasi Al-Qur’an. Dalam perkembangan itulah, penyucian atau menganggap suci Al-Qur’an adalah konstruksi sebuah masyarakat. Al-Qur’an dianggap suci karena ada sekelompok masyarakat yang menganggapnya suci, tanpa pernah memperhatikan secara kritis adanya proses-proses manusiawi di dalamnya.
Menurut ketiga figur JIL, saat ini yang terjadi adalah kecenderungan kaum Muslim untuk mensakralkan huruf, script, atau tulisan Al-Qur’an dibanding semangat pembebasan dan pemuliaan manusia yang dikandung Al-Qur’an. Kaum Muslim telah meletakkan Al-Qur’an hanya sebagai kitab suci yang tertulis dan sebagai kitab hukum yang kaku dan rigid. Hal ini memberikan beberapa akibat. Pertama, terjadi penguatan skripturalisme yang eksesif, yaitu anggapan bahwa huruf dan kalimat yang tertera dalam kitab suci harus dimengerti secara “harfiah”, dan bahwa maksud Tuhan terkandung secara transparan dan langsung dalam huruf itu. Kedua, Al-Qur’an disempitkan menjadi sekadar dokumen hukum yang kedudukannya tidak jauh berbeda dengan naskah hukum dalam pengertian hukum positif modern saat ini.
Dengan kata lain, Al-Qur’an dimerosotkan derajatnya hanya menjadi “huruf dan “kanon resmi’, menjadi kitab aturan, atau dalam bahasa Arkoun menjadi “korpus resmi yang tertutup.” Artinya, kanon resmi yang dibaca dan dipahami menurut penafsiran tertentu yang dianggap otoritatif, dan mengabaikan adanya pemahaman dan penafsiran lain yang beragam. Padahal, menurut ketiganya, Al-Qur’an adalah kitab petunjuk, kitab ilham yang membuka peluang banyak penafsiran. Al-Qur’an adalah sumber inspirasi yang membebaskan, sebagai bagian dari ritual sosial, sebagai ilham dalam penciptaan artistik, sebagai elemen yang juga ikut membentuk fantasi dan harapan komunitas muslim di sebuah tempat tertentu, pada waktu tertentu pula.
Menurut Media, apa yang dilakukan JIL tersebut tidak semata mengkritik, melainkan juga ingin mendekonstruksi cara pandang konvensional kaum Muslim terhadap Al-Qur’an. JIL ingin mendekonstruksi bahwa Al-Qur’an bukan segala-galanya bagi kehidupan Muslim. Sejarah dan pengalaman hidup manusia juga memiliki nilai penting untuk membangun hidup yang lebih baik. Kandungan Al-Qur’an juga tidak semuanya bersifat final, permanen, dan universal. Kritik atau dekonstruksi JIL ini tentu saja mendapat reaksi yang sangat keras dari Muslim Indonesia. Sebagian besarnya adalah reaksi berupa amarah yang tidak proporsional.
*. * *
Masa Redup dan Prospek Masa Depan
Memasuki dasawarsa kedua era 2000, komunitas JIL, dan istilah “Islam liberal” tidak populer lagi. Sesekali terdengar nama itu secara sayup-sayup. Mungkin ada faktor kritik keras, serangan, dan fatwa kaum ulama tentang bahaya JIL bagi umat Islam. Tetapi, menurut Moqsith Ghazali, hal itu tidak terlalu signifikan. la mengungkapkan setidaknya ada tiga hal pokok yang sangat signifikan yang membuat JIL semakin lemah. Pertama, JIL kalah cepat merespons isu-isu aktual keislaman dari lembaga lain, seperti NU dan UIN. Kedua, ketiadaan lagi dukungan dana yang memadai untuk kegiatan-kegiatan JIL. Tahun 2001 hingga 2005, JIL didanai oleh The Asia Foundation (TAF). Setelah itu, ada evaluasi dari TAF. Kabarnya, TAF tidak mengurusi lagi soal teologi, dan karena itu para Indonesianis yang menjadi konsultan TAF menganggap tidak perlu lagi kerja sama dengan JIL diteruskan. Indonesia dianggap sudah menjadi negara yang sangat demokratis sehingga lembaga-lembaga donor memindahkan proyeknya ke negara-negara yang penuh konflik, seperti Afghanistan, Pakistan, Mesir, Libya, dan lain-lain.
Ketiga, JIL dan penyebutan “Islam liberal” mendapat kritik dari tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah, dan UIN yang dulu menjadi para pendukungnya. Ada beberapa peristiwa kompleks yang bisa dijelaskan. Ketika Islam radikal melakukan aksi terorisme di banyak tempat di Indonesia dan menyedot perhatian publik, maka tokoh-tokoh Muslim moderat dari NU, Muhammadiyah, dan UIN melakukan kritik tajam terhadap radikalisme Islam dan mengampanyekan Islam moderat. Namun, bersamaan dengan mengkritik Islam radikal (ekstrem kanan), mereka juga mengkritik Islam liberal (ekstrem kiri) demi mengampanyekan Islam moderat.
Terkecuali Gus Dur, Cak Nur, Djohan Effendi, dan Dawam Rahardjo, serta beberapa tokoh terkemuka NU dan Muhammadiyah, seperti Hasyim Muzadi, Said Aqiel Siradj, dan Din Syamsuddin kerap mengkritik Islam liberal. Beberapa tokoh UIN yang dulu menjadi kontributor mulai “menjaga jarak” dengan JIL dan isu-isu Islam liberal karena alasan-alasan politis, misalnya karena telah menjadi pejabat tinggi di universitas atau Kemenag RI, atau menginginkan diterima sebagai pejabat tinggi di lembaga Islam lain. Dalam persepsi banyak Muslim Indonesia, di tengah semangat kembalinya Muslim Indonesia kepada Islam moderat, maka Islam liberal dianggap sama bahayanya dengan Islam radikal. Dalam pengertian inilah, para tokoh itu harus menjaga jarak dengan isu-isu Islam liberal.
Begitu pula, dari sisi keilmuan, diskursus yang kerap diusung JIL, seperti hubungan Islam dengan pluralisme, hermeneutika, HAM, dan kesetaraan gender sudah tidak banyak lagi didiskusikan. Kiranya saat ini tema-tema yang dulu diusung JIL sudah tidak relevan. Perubahan dan dinamika pemikiran dan gerakan Islam Indonesia hari ini menyebabkan para pemikir Muslim senior lebih senang mendiskusikan tema-tema yang sedang aktual. Secara umum, topik-topik seputar spiritualitas Islam dan normatif Islam masih menyedot perhatian publik Muslim. Sebaliknya, diskursus tentang Islam progresif dan isu-isu Islam yang lebih akademik-intelektual sudah kurang diberitakan oleh media massa, kurang publikasi, karena itu kurang pula respons dari masyarakat luas.
Momen Pemilu 2004, terlebih lagi pada Pemilu 2009 dan 2014, sebagian besar anak-anak muda Muslim terlibat dalam politik praktis, baik untuk menjadi anggota legislatif maupun menjadi pendukung calon-calon presiden yang akan bertarung. Kini, anak-anak muda itu menjadi pragmatis. Dalam tujuh tahun terakhir, perhatian masyarakat Muslim juga tersedot terutama pada soal-soal sosial dan politik, sesekali terjadi perbincangan keagamaan karena insiden intoleransi. Namun, diskursus Islam intelektual dengan respons yang luas seperti pada masa 1990-an dan awal 2000-an sudah melemah.
Menurut Moqsith Ghazali, JIL dan isu-isu Islam liberal semakin melemah ketika tokoh-tokoh senior Muslim liberal seperti Cak Nur dan Gus Dur meninggal, serta Djohan dan Dawam sakit karena usia tua. Tidak ada generasi pertama setelah mereka yang memiliki akar Islam sosial (pengikut) yang kuat seperti Gus Dur, dan akar Islam institusional seperti Cak Nur. Ringkasnya, figur-figur muda seperti Ulil, Luthfi, Ihsan Ali Fauzi, Saiful Muzani, Moqsith Ghazali, dan lain-lain kurang memiliki wibawa Islam intelektual dan spiritual seperti yang dimiliki tokoh-tokoh senior itu.
Dalam perspektif Media, masa depan gagasan-gagasan Islam liberal di Indonesia sesungguhnya masih terbuka, namun harus dikemas dalam format yang bisa diterima kaum Muslim secara luas. Sesungguhnya, meskipun JIL sudah redup, namun tokoh-tokohnya masih aktif memberikan sumbangan pemikiran bagi Indonesia, baik melalui tulisan-tulisan di media massa maupun dalam ceramah-ceramah yang mereka sampaikan di mana-mana. Sebagian ide-ide besar Islam liberal sesungguhnya senapas dengan ide-ide Muslim moderat yang ada di NU, Muhammadiyah, Paramadina, dan UIN. Pandangan keislaman yang moderat dan liberal juga sejalan dengan nilai-nilai di dalam Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Karena itu, pemerintah juga akan “mendukung” ide-ide progresif mereka. Hanya saja, ide-ide progresif Islam liberal harus muncul dengan nama lain yang simpatik, karena istilah “Islam liberal” bagi sebagian besar Muslim Indonesia sudah terlanjur menjadi hantu yang menakutkan, sama menakutkannya dengan istilah “Islam radikal.”
Bagi Media, JIL adalah sebuah fenomena menarik dalam panggung Islam Indonesia. Meskipun para aktivisnya tidak mengeksplorasi ide-ide orisinal keislaman dan tidak menulis karya-karya akademik yang tebal dan serius, namun mereka punya peran yang cukup penting dalam diskursus Islam intelektual Indonesia. Seperti halnya Gus Dur dan Cak Nur, tokoh- tokoh JIL juga melakukan “pukulan” yang cukup membuat shock kaum Muslim tradisional yang jumud. Peran penting mereka yang lain adalah diseminasi tema-tema keislaman yang dahulu dianggap sangat “elitis”, hanya milik kaum ulama, para mujtahid dan intelektual Islam semata. Topik-topik dahulu yang elitis itu disebarluaskan oleh JIL dan menjadi milik publik Muslim untuk diperdebatkan.
“Islam intelektual yang riuh rendah”, tegas Media, “dengan diskusi dan perdebatan sesungguhnya jauh lebih menguntungkan wajah Islam dan kaum Muslim dibanding Islam normatif yang kaku, sempit, tidak cerdas, dan tidak inspiratif yang kini dirayakan di mana-mana. Disinilah signifikansi peran intelektual JIL dalam memberdayakan masyarakat Muslim.”
Akhirnya, Media memungkasi wacana tentang JIL agar anak-anak muda muslim yang terdidik secara intelektual terus merawat idealisme mereka:
“Akhirul kalam, ide, pikiran dan gagasan sejatinya tak akan pernah mati. la seperti ruh: selalu hidup dalam alam yang abstrak, namun denyut kehidupannya selalu terasa dalam alam yang nyata. Karena itu, jika anak-anak muda Muslim yang terdidik dalam Islam intelektual terus merawat idealisme mereka untuk pembaruan Islam, untuk Islam yang dinamis, dan untuk Indonesia yang modern, dan dengan dukungan pendanaan yang memadai, maka ruh dan gagasan-gagasan besar Islam liberal sesungguhnya tidak pernah mati.”
* * *
Itulah sebagian kecil wacana JIL yang dieksplorasi oleh Media dengan simpatik namun kritis. Tentu saja masih ada gagasan-gagasan besar yang pernah menjadi konsen JIL, seperti Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi, gender, relasi Islam dan kebangsaan, modernisasi, liberalisme, pluralisme, sekularisme, nikah beda agama, dan lain-lain.
Core pemikiran JIL adalah mengusulkan kebebasan berpikir untuk keluar dari selubung pemikiran yang common, rutin, rigid, dan menghilangkan kejumudan. Dengan kebebasan berpikir itu, JIL menghendaki adanya terobosan-terobosan baru yang mencerahkan umat sehingga dapat menghasilkan inovasi, pertumbuhan, dan kemajuan. Sebab tidak mungkin menciptakan inovasi, kemajuan, dan terobosan-terobosan besar dalam berbagai bidang kehidupan, baik sosial, budaya, politik, ekonomi, maupun pemikiran tanpa kebebasan berpikir. Melalui berpikir secara bebas itulah terciptanya pertumbuhan, kemajuan, inovasi, pembaruan, temuan, dan terobosan-terobosan baru sejak era klasik hingga hari ini. Dengan kebebasan berpikir itu pula yang mengantarkan para pembaru menemukan kehebatan dan kebesaran diri mereka: kehebatan dan kebesaran diri mereka benar-benar diakui dunia sepanjang masa.
Barangkali dibutuhkan beberapa ilustrasi berikut ini untuk melihat lebih dekat urgensi kebebasan berpikir yang diusung JIL. Dalam sejarah filsafat Yunani, kita mengenal filsuf tersohor, yaitu Plato. Di antara kehebatan Plato, karena bisa menginspirasi seorang filsuf besar yang menjadi muridnya Aristoteles. Tetapi kebesaran Aristoteles lebih ditentukan oleh Aristoteles sendiri sewaktu dia berani mengeluarkan gagasan-gagasannya sendiri yang berbeda dengan gurunya, malah mengkritik teori dunia idenya Plato. Jika Plato menyuguhkan wacana filosofis yang bercorak transendental, Aristoteles berani menampilkan diskursus filosofis yang bernuansa rasional.
Dalam perkembangan selanjutnya, metode deduksi karya Aristoteles yang begitu diidolakan selama ribuan tahun, tiba-tiba dikritik, dibongkar, dan ditolak oleh oleh Francis Bacon yang mengantarkan dirinya menjadi salah seorang filsuf besar pendobrak di ambang modernitas, selain Nicolo Machiavelli dan Diordano Bruno. Dan kebesaran Baruch de Spinoza menjelma dari penolakannya terhadap etika temporal filsuf besar sebelumnya yang dijuluki Bapak Modern: Rene Descartes.
Jika itu fenomena Yunani dan dunia Barat, mari kita bertamasya ke dunia belahan Timur, dunia tempat lahir dan mekarnya para pemikir-pemikir besar Muslim. Dalam konstelasi ulama sunni, kita mengenal empat macam imam mazhab fikih. Secara kronologis, imam pertama dan kedua, Abu Hanifah dan Malik bin Anas, berguru kepada imam syiah yang keenam sekaligus penggagas fikih Ja’fari, yaitu Imam Ja’far Ash-Shadiq.
Walaupun Abu Hanifah sudah menguasai hampir sebagian besar persoalan-persoalan fikhiyyah, ia tetap berguru kepada Ja’far Ash-Shadiq selama dua tahun. Selama masa belajar tersebut, Abu Hanifah tidak pernah membantah atau mendebat pandangan-pandangan imam Ja’far dan sangat memuliakan gurunya, sampai-sampai keluar statemennya yang terkenal: “Seandainya tidak ada masa dua tahun bersama Ja’far Ash-Shadiq, niscaya celakalah Nu’man” (halaka nu’man). Nu’man adalah nama akrab Abu Hanifah.
Akan tetapi apakah Abu Hanifah hanya taklid kepada Imam Ja’far? Ternyata tidak. Ia membangun mazhab fikih yang berbeda dengan Ja’far Ash-Shadiq: Mazhab Hanafi. Tidak berbeda dengan Abu Hanifah, Malik bin Anas juga sangat menghormati gurunya, sehingga ia berkomentar tentang Ja’far Ash-Shadiq: “Tidak ada seorang pun yang dilihat mata dan didengar telinga, yang lebih utama dari Ja’far Ash-Shadiq dalam hal keutamaannya, ilmunya, ibadahnya, dan wara’nya.”
Namun seperti kita ketahui, katakjuban kepada Imam Ja’far tidak menghalangi Imam Malik mewujudkan otoritas sendiri dalam bidang fikih yang kita kenal dengan mazhab Maliki. Selanjutnya Muhammad Idris al-Syafi’i yang berguru kepada imam Malik. Saat itu Imam Malik telah menjadi orang besar yang sangat disegani, pakar ilmu, dan sudah mengarang kitab Muwatha yang sangat tebal berisi tentang hadis-hadis pilihan dari Nabi Saw.
Dalam sebuah riwayat, ketika imam Syafi’i pertama kali mengunjungi imam Malik untuk mendaftarkan dirinya sebagai murid, Imam Malik mau menerimanya dengan syarat imam Syafi’i harus menghafal terlebih dahulu seluruh isi kitab Muwatha tersebut. Konon, karena begitu ta’dzimnya Imam Syafii terhadap Imam Malik, syarat tersebut disanggupi oleh Imam Syafii dan kitab Muwatha dihafalnya dalam waktu yang relatif cukup singkat.
Akan tetapi lagi-lagi, Imam Syafi’i enggan berada di bawah bayang-bayang kealiman dan kehebatan Imam Malik semata, sehingga ia berkreativitas dengan inisiatif sendiri untuk melahirkan mazhab yang sangat terkenal di tanah air kita: Mazhab Syafi’i. Begitu kreatifnya Imam Syafi’i sehingga ia terkenal juga dengan varian fatwa-fatwanya: qaul qadim (fatwa lama) dan qaul jadid (fatwa baru).
Kemudian datang Ahmad bin Hanbal yang berguru kepada imam Syafi’i. Ahmad bin Hanbal teramat sering mengagungkan Imam Syafi’i, sampai-sampai anaknya heran dan menanyakan alasannya mengapa begitu sering memuji Imam Syafi’i. “Wahai anakku, bagaimana keadaan dunia ini bila tidak ada sinar matahari?”, jawab Imam Hanbal yang justru dibungkus dengan pertanyaan ilustratif pula.
Anaknya menjawab datar, “Tentu saja semesta persada ini akan gelap gulita dan tidak pernah ada yang namanya siang hari.”
“Nah, begitu juga dengan dunia Islam akan berada dalam gelapnya kebodohan seandainya tidak ada matahari ilmu dari Imam Syafi’i”, demikian penjelasan metaforik Imam Ahmad.
Namun seperti para seniornya, Imam Hanbal keluar dari payung keagungan Imam Syafi’i dan mampu menelurkan otoritas tersendiri dalam bagian fikih: mazhab Hanbali. Ketika ia membangun mazhab fikih sendiri, Imam Hanbal menjadi besar dengan kebebasannya berkreasi secara otentik.
Bukan hanya dalam tataran fikih, tapi merambah pula dalam kajian wacana filsafat. Al-Farabi dan Ibn Sina yang sudah menjadi filsuf besar awal dalam sejarah Islam, teori dan konsep-konsepnya dipelajari oleh Ghazali, lalu dikritiknya secara filosofis sehingga mengantarkan Ghazali diperhitungkan pula sebagai seorang filsuf besar di samping sebagai seorang teolog dan sufi. Namun kritik Ghazali disambut dengan kritik pula oleh Ibn Rusyd yang membawa namanya melambung di Eropa dengan sebutan Averroes.
Dalam babak berikutnya, ide Suhrawardi, filsuf besar abad dua belas, ihwal esensi (asholatul mahiyah) lebih fundamental daripada eksistensi (asholatul wujud) dikritik oleh Mulla Shadra dengan konsep sebaliknya bahwa eksistensi lebih fundamental ketimbang esensi. Dengan konsep tersebut, Mulla Shadra menjadi salah seorang filsuf aliran eksistensialis terbesar dalam Islam yang melambungkan pamornya hingga abad kita, era millenium ketiga hari ini.
Begitulah seterusnya. Setiap inovasi, kreativitas, pembaruan, kemajuan, dan terobosan-terobosan baru dalam segala aspek kehidupan, baik dalam bidang pemikiran, budaya, sosial, ekonomi, sejarah, sains, teknologi maupun politik meniscayakan sebuah syarat-salah satu syarat mutlaknya: kebebasan berpikir. Jadi jangan salah paham. Sebenarnya kebebasan berpikir yang diusung oleh JIL bukan kebebasan berpikir yang bersifat negatif-destruktif, melainkan kebebasan berpikir yang bersifat positif-konstruktif yang akan membawa manfaat dengan kemanusiaan secara universal.
Meskipun kebebasan berpikir ini telah digulirkan JIL hampir dua darsa silam, namun tetap tidak kehilangan nilai signifikansinya sampai hari ini. Kita semua tahu bahwa umat Islam Indonesia mayoritas dan menjadi umat terbesar di dunia secara kuantitas. Tapi kita juga tahu umat Islam Indonesia minoritas dalam hal kualitas dan masih sangat kecil perannya, baik dalam skala regional maupun pada level global. Kita masih jauh tertinggal kualitasnya dalam segi ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi dengan bangsa-bangsa lain.
Tentu saja ada banyak faktor yang menyebabkan kita masih menjadi negara miskin dan terbelakang dalam hal ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi. Entah karena faktor budaya, ekonomi, politik, atau kepemimpinan. Tapi salah satu faktor penyebabnya adalah kerena belum tumbuhnya kebebasan berpikir secara independen dan kritis-konstruktif dalam dunia pendidikan kita. Masih banyak lembaga pendidikan yang tugasnya hanya memberi materi-materi semata, bukan mengajarkan metodologi, berpikir yang benar, kreatif-inovatif. Padahal untuk menjadi inovatif, kreatif, dan produktif, anak didik terutama para mahasiswa di perguruan tinggi harus diajarkan untuk terbiasa berpikir secara bebas, thinking out of box. Our university ideally should teaches the students how to think freely and openly, not what to think only.
* * *
Tepat pada titik inilah, kita melihat relevansi kebebasan berpikir yang disuarakan oleh JIL dua dasawarsa yang lalu. Namun sayangnya, prinsip kebebasan berpikir, wacana pembaruan pemikiran, tentang gagasan Islam hidup dan ide-ide pencerahan intelektual yang dulu gegap gempita disurakan JIL di jagad ruang publik Indonesia, kini sudah tidak terdengar suaranya sama sekali. Sebagian aktor-aktor penting JIL, ada yang sibuk dengan kegiatan ormas, ada yang terlibat dalam partai politik praktis, dan ada juga yang sibuk dengan kegiatan masing-masing; namun tidak ada lagi yang menyuarakan kebebasan berpikir, pembaruan pemikiran Islam, dan pencerahan intelektual.
Ulil Abshar sendiri salah seorang pentolan JIL, sekarang lebih banyak mengampu pengajian kitab-kitab Imam Ghazali. Tentu saja ketika mengaji kitab-kitab Imam Ghazali, Ulil menguraikan berbagai macam wacana keilmuan yang mampu membawa pencerahan bagi masyarakat luas. Tapi perlu kita pahami bahwa spirit pencerahan yang ditiupkannya melalui kajian kitab-kitab Imam Ghazali lebih banyak pada aspek pencerahan moral-spiritualnya, bukan spirit pencerahan intelektual, kebebasan berpikir, dan pembaruan pemikirannya.
Walaupun berulangkali Ulil menyatakan bahwa ia masih Ulil yang dulu dan tidak berubah, tapi jelas ia sudah berubah, terutama wacana-wacana yang disuarakannya. Ulil yang sekarang lebih cenderung sebagai seorang kyai-sufistik yang membina moral-spiritual anak-anak bangsa, bukan lagi Ulil sebagai cendekiawan yang selalu gelisah dengan umat Islam yang jumud, rigid, dan radikal, lalu bersuara lantang tentang pembaruan pemikiran Islam, tentang Islam yang hidup, tentang kebebasan berpikir, dan pencerahan nalar.
Bahkan sekarang, kemana-mana Ulil menjadi pembela Imam Ghazali paling gigih. Memang cukup banyak para pengkaji tokoh yang “dikalahkan” oleh sang tokohnya, sehingga tidak mampu lagi bersikap kritis. Ulil jadid jelas sudah berbeda dengan Ulil qodim. Tentu saja tidak ada yang salah dengan hal ini. Hanya saja ide-ide tentang kebebasan berpikir, pembaruan pemikiran Islam, dan pencerahan pemikiran menjadi terhenti gemanya di ruang publik.
Meskipun demikian, mungkin kita bisa memaklumi, sebab ide-ide pencerahan yang digulirkan Ulil dua dasawarsa lalu mendapat banyak tantangan dan penolakan masyarakat luas. Ulil sendiri sangat terancam nyawanya. Tidak sedikit yang hendak melakukan penyerangan secara fisik terhadap dirinya. Bahkan sebagian warga NU, sebuah tradisi tempat Ulil tumbuh berkembang, juga banyak yang menolaknya. Begitu juga, kultur masyarakat kita memang masih sulit menerima wacana, atmosfer dan ide-ide tentang pembaruan pemikiran Islam.
Kendati demikian, saya sependapat dengan Media, bahwa gagasan-gagasan Islam liberal sesungguhnya masih terbuka namun harus dikemas dalam format yang bisa diterima kaum muslim secara luas. Begitu juga kaum intelektual harus selalu merawat idealisme mereka untuk pembaruan Islam.
Namun masalahnya, hari ini sebagian besar akademisi di kampus-kampus PTKIN lebih sibuk dengan urusan-urusan teknis-administratif yang bersifat pragmatis dengan hanya mengejar gelar profesor dan sebagian lagi sibuk rebutan jabatan-jabatan strategis yang ada di masing-masing kampus. Kalau sudah begini, sulit rasanya mengharapkan idealisme dari mereka untuk menyuarakan spirit pembaruan pemikiran dan pencerahan intelektual.
Barangkali kelak, spirit pembaruan pemikiran dan pencerahan intelektual itu akan disuarakan kembali oleh kaum intelektual muda dari luar kampus, namun memiliki akar pendidikan pesantren dan kampus yang established. Semoga…
Dr. Zaprulkhan, M.S.I: Buku ini sangat layak untuk dibaca oleh siapapun yang tertarik dengan wacana perjumpaan antara Islam ideologis dan Islam kultural.