Sebagai warga NU biasa, saya melihat dari jauh hiruk pikuk perhelatan akbar seabad NU. Ormas “kaum sarungan” atau “kaum tradisionalis” yang dulu banget dianggap “kolot, jumud dan terbelakang” kini sudah full digdaya, modern, progresif, dan jangan lupa, sudah kaya raya. Menurut Kyai Said Aqiel Siraj, Ketika ia baru menjabat ketua umum PBNU sepuluh tahun lalu, kas NU hanya 500 juta. Ketika Gus Yahya terpilih, kas yang ditinggalkan Kyai Said jadi 1,8 Trilyun. Apalagi sekarang.
Sepanjang perjalanannya, tentu saja ada jutaan warga NU, puluhan pejabat, akademisi, tokoh masyarakat dan ratusan Kyai-kyai di pelosok-pelosok desa, kampung, kota-kota kecil dan kota besar, yang mendukung dan membesarkan NU. Tapi tiba-tiba saya ingat Gus Dur (GD). Separuh umur dari generasi saya (warga NU) ikut terlibat, melihat, dan menyaksikan kiprah GD. Perjuangannnya puluhan tahun luar biasa. Luar biasa dalam banyak aspek.
Sepanjang pertengahan 1990-an hingga GD lengser dari Presiden (2021), saya mengkliping apa pun tentang GD: artikel2 yang ia tulis di Kompas dan Media Indonesia, artikel-artikel kata pengantarnya, berita-berita tentangnya, wawancara-wawancaranya, foto-fotonya dan lain-lain. Saya punya kliping tentang GD sekitar 200 dokumen; semuanya dari koran dan majalah yang saya gunting satu per satu, lalu saya simpan di plastik besar, beberapa plastik besar. Tapi sayang sekali, semua dokumen itu hilang karena harus pindah-pindah kontrakan dan rumah. Saya merasa kesal sekali dan sedih banget, kenapa beberapa plastik dengan dokumen yang selalu saya simpan rapi itu akhirnya hilang entah ke mana? Itu dokumen sejarah dan akademik yang mahal (meskipun banyak dokumen yang dulu saya punya, kini sudah diterbitkan oleh banyak penerbit, menjadi buku).
Tapi, ada satu buku tertinggal yang didalamnya ada beberapa kliping tentang GD. Tapi sayang sekali hanya sedikit saja. Buku tulis ini berumur 23 tahun. Kliping-kliping GD juga sudah berwarna kuning. Tentu aja ini kliping amatir, sangat amatir. Dalam cover buku ada logo Universitas Islam Bandung. Saya merasa “santri tradisionalis” yang nyemplung ke universitas milik kaum modernis. Tetapi akhirnya memberi saya banyak “berkah”.
Pada kliping pertama, “para kiai di panggung politik”, Republika 1995, ada foto GD berbincang dengan Ismail Hasan Matareum, ketua umum PPP saat itu. Kacamata GD sangat tebal, pemandangan yang umum saat itu, dengan wajah besar-bulat kharismatik. Pada kliping kedua: “Siapa Berani Lawan Gus Dur”, Gatra sekitar tahun 1995, juga terlihat kacamata GD yang sangat tebal, dan model kacamata itu tidak lagi ia pakai sejak akhir tahun 1990-an hingga wafatnya. Pada laporan utama Gatra, “Siapa berani lawan GD” memang itu salah satu masa emas GD yang selalu disegani dan ditakuti musuh2nya, termasuk negara. Tapi akhirnya pada 2005 GD dilawan oleh keponakannya sendiri dan kalah di pengadilan.
Pada kliping ketiga, ada foto GD salaman dengan Pak Harto. Kompas 4 November 1996. Itu momen yang sangat ditunggu jutaan kaum Nahdhiyyin dan ratusan wartawan dalam dan luar negeri. Kalau saya tidak salah, itulah pertama kali Pak Harto menyalami GD, di Munas NU di Ponpes Zainul Hassan Genggong, setelah Muktamar Cipasung 1994, GD menang tapi tidak disukai Cendana. Karena itu “momen salaman” ini ditunggu jutaan mata Nahdhiyyin. Setelah Pak Harto datang ke Munas NU itu, “konflik” antara GD dengan Cendana dianggap selesai, dan kemenangan, lagi-lagi, di kubu GD. Siapa berani lawan GD? Cendana dan militer saja akhirnya kalah.
Pada kliping keempat, ada foto GD mengangkat kedua tangannya seperti sedang “menjelaskan sesuatu” di depan Pak Harto dan Zainuddin MZ. Acara itu sekitar tahun 1990-1991.
Pada kliping kelima (Harian Kompas, 1993), ada foto GD didampingi Ibu Shinta Nuriyah, dan di depannya ada Mbah Lim Klaten. Itu acara Istighotsah dan show off GD di Parkir Timur Senayan tahun 1993. GD ingin menunjukkan kepada rezim bahwa ia masih didukung jutaan warga NU. Saya kelas 3 Aliyah di Pesantren dan ikut larut dalam puluhan ribu lautan Jamaah Nahdhiyyin.
Ada juga kliping GD berfoto dengan Megawati sekitar 1995. GD mendukung Mega (sebagai ketua umum PDI) yang dilengserkan oleh rezim. Juga ada kliping GD duduk Bersama Megawati, Sobari dan tokoh Golkar yang sedang naik daun saat itu, Tajus Shobirin. Kompas 25 Februari 1995. Acara itu adalah peluncuran “Kaset Perbincangan Demokrasi” GD dan Kang Sobary, ke mana kaset itu sekarang?
Ada kliping menarik di Media Indonesia, 12 Sept 1997, Ketika GD mengkritik para politisi dan birokrat sipil, “Banyak sipil bergaya militer, sok main instruksi dan suka marah jika pendapatnya didebat”. Kacamatanya sudah tidak tebal lagi dengan model rambut agak pendek. Di kliping berikutnya, Kompas 20 September 1997, terlihat GD naik becak di acara Haul Akbar ke-7 KH Raden As’ad Syamsul Arifin di Situbondo. Terlihat seragam Banser saat itu berbeda dengan yang sekarang?
Ada juga kliping foto Gus Mus yang memegang tangan GD, yang disebut Kompas “Dua Bintang” Tokoh Islam Indonesia (Kompas, 7 Maret 1995).
Pada kliping selanjutnya, Kompas 3 September 1997, menurunkan berita “GD dan Uskup Belo Ceramah di Praha”. GD, Bersama dengan para pemenang hadiah Nobel dan tokoh-tokoh dunia: Uskup Belo, Oscar Arias Sanzes, Dalai Lama, Frederik Willem de Klerk, Simon Peres, Joshua Lederberg, Helmut Schmidt, Zheluy Zhelev dan lain-lain, memberi ceramah tentang perdamaian dunia di kediaman resmi Presiden Ceko, di Kastil Praha abad 16, Praha Republik Cheko.
Kliping terakhir yang saya pilih adalah laporan Kompas (16 September 1997) tentang ceramah GD di Praha itu. Dalam ceramah tahun 1997 itu, GD memberi judul ceramahnya “Solving the Unsolvable”. GD memprediksi puluhan tahun ke depan umat manusia yang semakin mengglobal akan mengalami masalah-masalah hidup yang sangat rumit dan kompleks. Yang dibutuhkan, menurut GD, bukan jawaban yang “instan”, “gampang” dan “dangkal”, tapi jawaban berdasar “riset mendalam” tentang hubungan masyarakat, negara dan faktor-faktor eksternal.
Dari kliping-kliping yang saya kumpulkan, terlihat jelas “ketokohan GD” dan “jam terbang GD”. Ia bukan hanya ulama, budayawan dan tokoh nasional, tapi juga “tokoh dunia”. Ia tokoh dunia bukan ngaku-ngaku sendiri atau kampanye. Ia jadi tokoh dunia memang diakui oleh tokoh-tokoh dunia lainnya. Akan sulit lagi cari tokoh NU sekaliber GD.
Prof. Dr. Media Zainul Bahri, MA, adalah Guru Besar Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.