Kita semua sudah mafhum bahwa pada aras sosio-antropologis, apa yang disebut “Islam Indonesia” adalah Islam yang dipraktikkan oleh orang-orang Indonesia dalam dan melalui budaya Indonesia. Yang paling sederhana adalah shalat orang Indonesia yang memakai peci hitam dan sarung cap gajah duduk, yang tidak pernah dipakai oleh Nabi ketika shalat. Begitu pula terminologi antropologis “Islam Arab Saudi”, “Islam Turki”, “Islam Afghanistan”, “Islam India”, “Islam Cina”, “Islam Kashmir”, “Islam Maroko” dan seterusnya. Mereka punya pakaian, budaya, festival dan tradisi masing-masing dalam mempraktikkan Islam. Mereka semua tau bahwa pada level teologis, Islam yaa berasal dari Allah, tapi bagaimana mempraktikkannya kalau tidak pakai medium budaya? Karena itu, dalam Qur’an ditegaskan bahwa “Pada tiap-tiap umat, Kami turunkan rasul”, dan “Rasul itu berbicara dalam bahasa kaumnya (bi lisaani qawmihi)”. Artinya wahyu “meminjam” budaya dan tradisi lokal.
Dulu saya pernah ngaji sebentar di Ilahiyat Fakultesi (Fak. Ushuluddin) Univ Ankara. Kalau ingatan saya gak salah, orang Turki merayakan Idul Adha (Bayram, Kurban Bayrami) lebih semarak dari Idul Fitri. Anak2 mahasiswa Ankara dan orang-orang kota pulang kampung alias mudik untuk merayakan Bayram dg keluarga besar. Libur sampai dua minggu. Kantor2, sekolah dan universitas tutup. Tradisi silaturahmi dan open house di desa2 di Turki meriah. Beda dengan di Indonesia yang “lebih memeriahkan” Idul Fitri.
Saya pernah juga shalat Idul Fitri di Manila (2007) sama Ary Budiyanto, dosen Univ. Brawijaya. Berangkat dari hotel sekitar jam 5 pagi. Saya bilang sama supir taksi “antar kami ke masjid terdekat”, sang supir tanya “Muslim church?” “Ya” kami jawab. Selesai shalat Idul Fitri sekitar jam 8.30, Ketika keluar masjid rupanya di pintu masjid ada ibu-ibu membagikan beras mentah di tangan, kata mereka: ini (simbol) untuk buka (setelah sebulan puasa). Tentu saja itu hanya simbol, makan sekedarnya, bukan untuk kenyang. Demi menghormati, terpaksalah saya makan beras mentah itu sambil terbayang betapa lezatnya ketupat dan opor ayam idul fitri di Pamulang. Beda tempat, beda tradisi.
Di Kristen juga sama. Budaya lokal dipakai untuk mengamalkan, mendakwahkan dan mengembangkan agama Kristen. Alkitab diterjemahkan ke dalam Bahasa Cina, Indonesia atau Jawa. Pastornya dipanggil “Romo”. Ada yang merayakan Natal pakai “gamelan”. Sejak dulu Katolik biasa melakukan akulturasi dan inkulturasi. Bisa juga disebut “Katolik Nusantara”. Di Protestan Jawa sejak tahun 1930-an juga dilakukan hal yang sama. Waktu saya riset Johan Herman Bavinck (tahun 1930-an), Pendeta Protestan yang tinggal lama di Jawa, ia juga setuju Protestan melakukan akulturasi dan inkulturasi dengan budaya Jawa, padahal Protestan sangat “strict” (murni) dalam soal keyakinan. Almarhum Pak Karel Steenbrink waktu saya wawancarai soal Bavinck, ia bilang “Inilah yang disebut Kristen Nusantara”.
Juga ada buku berjudul Wajah Yesus di Asia (2007); para penulis dalam buku itu berusaha mencari “wajah Yesus” yang asli, yang Asia, bukan yang Eropa atau Barat. Yesus dalam konteks Asia. Saat di Filipina itu, kami peserta Workshop diajak ke Gereja Katolik Tertua di Manila. Saya lihat Bunda Maria didandanin pakaian pengantin perempuan Filipina. Bunda Maria jadi Filipina banget.
Para antropolog misalnya, memang biasa membuat tipologi antropologis untuk satu agama. Dulu Pak Mark Woodward menulis Islam Jawa (2017, meskipun judul aslinya Islam in Java, 199); Pak Bambang Pranowo menerbitkan disertasinya menjadi Memahami Islam Jawa (2009); Pak Nur Syam juga menerbitkan disertasinya menjadi Islam Pesisir (2005); Pak Zainuddin Maliki menerbitkan disertasinya menjadi Agama Priyayi, maksudnya Islam Priyayi (2004); Pak Muhaimin menerbitkan disertasinya menjadi Islam Cirebon (2001); juga ada buku karya Doktor Maharsi Resi berjudul Islam Melayu VS Islam Jawa (2010), maksudnya “Islam Melayu” lebih Islam daripada Melayu (yang dominan Islam-nya), tetapi “Islam Jawa” lebih Jawa daripada Islam (yang dominan Jawa-nya). Tipologi atau kategori yang begini kan biasa aja dalam dunia akademik.
Sebelum PBNU mendeklarasikan “Islam Nusantara” pada 2016-2017, Almarhum Pak Azyumardi telah jauh-jauh hari sebelumnya mendefinisikan apa itu Islam Nusantara. Menurut Profesor Sejarah Islam itu, “Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan agama di Indonesia”. Maksudnya kan Islam yang dipahami dan dipraktikkan dalam struktur budaya lokal tanpa mencabut yang asal atau yang pokok dari Islam.
Puluhan tahun sebelumnya, Buya Hamka sudah menulis dua buku tentang “Islam di Nusantara”. Di Bandung ada juga “universitas Islam Nusantara” (UNINUS) yang sudah berdiri sejak akhir tahun 1970-an. Istilah Islam nusantara adalah terminologi yang sudah lama. Selama puluhan tahun ke belakang orang atau akademisi mendengar istilah “Islam Nusantara” yaa biasa saja. Istilah itu tidak menunjukkan “agama baru” atau “sekte Islam baru”. Tidak sama sekali. Istilah itu baru belakangan diributkan karena faktor “kontestasi politik” para pendukung Jokowi versus Prabowo. Pengertiannya sudah keruh, sudah tidak akademik lagi.
Kritik
Ada banyak kritik terhadap istilah “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia” atau “Islam Turki” dan seterusnya. Sebagian kritik itu bersifat politis dan emosional saja. Misalnya karena kebencian terhadap tokoh tertentu atau Ormas Islam tertentu yang mengkampenyekan istilah itu. Sehingga kritiknya tidak punya basis akademik. Tetapi, marilah kita lihat dua kritik besar.
Pertama, kelompok yang meyakini bahwa Islam bersifat internasional. “Islam sudah internasional, kok malah dibuat lokal, dibuat Islam Indonesia atau Islam Nusantara. Itu menurunkan derajat Islam”, kata mereka. Ajaran Islam yang universal itu relevan untuk seluruh dunia, seluruh umat manusia. Istilah “umat” atau “ummah” artinya komunitas muslim di seluruh dunia yang tidak terikat lagi dengan atau sudah menembus batas-batas negara, suku dan etnis. Peristiwa haji misalnya, itu menunjukkan “kongres umat Islam sedunia”. Pada festival ibadah haji, muslim di seluruh dunia merasakan Islam sebagai milik umat sedunia. Bukan lagi milik satu negara, etnis dan suku tertentu.
Islam internasional juga punya organisasi2 berskala internasional misalnya Rabithah ‘alami al-Islami (Liga Muslim Sedunia) yang berdiri tahun 1962 di Saudi dengan anggota lebih dari 30 negara Muslim; atau OKI, organisasi Kerjasama Islam/organisasi konferensi Islam yang berdiri pada 1969 di Maroko dengan 38 anggota negara muslim; ada juga Liga Negara Arab: Jamiat ad Duwal al-Arabiyyah yang didirikan tahun 1945 dengan 22 anggota negara-negara Arab.
Pada level pelajar/mahasiswa juga ada organisasi pelajar Muslim sedunia yang eksis di masa-masa tahun 1970-an hingga 1990-an, misalnya International Islamic Federation of Student Organizations (IIFSO), World Assembly of Muslim Youth (WAMY), Regional Islamic Council for Southeast Asia and the Pacific (RESEAP), dan Muslim Student Associations (MSA). Sifatnya yang internasional dan eksistensi sejumlah Ormas Islam internasional memperkuat keyakinan bahwa Islam memang bersifat internasional, bukan lokal-partikular.
Kritik ini sekilas masuk akal meskipun address-nya berbeda.”Islam internasional” lebih bersifat “ideal” yang penekannya pada “kesamaan akidah” dan “kesamaan ajaran Islam”, sedangkan Islam lokal-partikular bersifat “ideal” dan “praktis” sekaligus. Disebut “ideal” karena ide-ide dan pemahaman Islam lokal menyatu dengan budaya dan tradisi lokal. Disebut “praktis” karena “praktik atau amalan Islam-nya” juga menyatu dengan budaya lokal. Lagipula, apakah dalam pertemuan-pertemuan OKI, Rabithah, IIFSO atau WAMY ada kesepakatan atau keputusan, misalnya “seluruh praktik amalan Islam harus menggunakan budaya Arab, Turki, Maroko, Mesir atau Pakistan, dan tidak boleh menggunakan budaya Indonesia atau Malaysia?” Pasti tidak! Konferensi-konferensi OKI, Rabithah, atau IIFSO biasanya berisi 3 hal: (1) silaturahmi dan musyawarah pada hal-hal penting, (2) tukar-menukar informasi, (3) solidaritas: saling menolong, saling membantu, dan saling memfasilitasi antar sesama negeri-negeri Muslim. Soal bagaimana Islam dipraktikkan? Pastilah diserahkan kepada budaya dan kearifan lokal masing-masing negara.
Kedua, kritik datang dari Tabloid Media Umat seperti foto di bawah. Saya penasaran dengan isinya. Ketika membuka halaman pertama-kedua, segera kita paham bahwa tabloid ini mengkampanyekan doktrin khilafah. Ada foto Ismail Yusanto, tokoh HTI, yang mereka sebut sebagai cendekiawan muslim.

Untuk menunjukkan bahwa HTI seolah sedang memperjuangkan ajaran Islam, maka edisi khusus tabloid ini mewawancarai banyak tokoh Islam: dari profesor, penceramah, tokoh FPI, tokoh MUI hingga koordinator 212. Saya akan mengambil wawancara dua tokoh saja: Habib Riziq Shihab (HRS) dan Kyai Muhyiddin Junaidi, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI.

Menurut HRS, “Islam adalah agama dari langit, dari Allah, bukan agama Arab. Karena dari Allah dan bumi ini ciptaan Allah maka dimana pun Islam hadir bukan sebagai pendatang. Islam tidak pernah menjadi pendatang. Islam selalu menjadi pribumi di bumi mana pun yang memang milik Allah”. Menurut HRS lebih lanjut, “Bahaya jika dikatakan Islam itu agama Arab. Itu mengerdilkan dan mengecilkan Islam. Nabi Muhammad memang diutus di Arab tapi bukan untuk mengarabkan Islam, melainkan mengislamkan Arab. Jangan dibolak-balik”, kata HRS.

Senada dengan HRS, Kyai Muhyiddin menegaskan bahwa “Islam datang dari Allah, sedangkan budaya ciptaan manusia. Apa yang datang dari Allah bersifat absolut kebenarannya, sedangkan budaya lokal belum tentu”. Lebih lanjut menurut tokoh MUI ini, “Islam sangat menghargai budaya lokal, tapi Islam bukan agama Nusantara, ia agama global. Ia akan cocok bagi siapa pun, di mana pun dan kapan pun”, tegas sang Kyai yang selalu memakai peci hitam ala Indonesia. Kemudian, tokoh MUI ini mengungkapkan kecurigaannya bahwa kampanye Islam Nusantara atau bahwa Islam harus patuh pada budaya adalah “grand design dari kelompok liberalis dan ultranasionalis yang menempatkan budaya sebelum agama. Jadi, bagi mereka, budaya adalah segala-galanya”. Apakah benar begitu?
Saya hanya akan fokus pada kajian akademiknya. Jelas, kritik kelompok kedua ini terhadap diskursus “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara” tidak nyambung alias tidak ketemu. Yang satu fokus pada aspek sosio-antropologis, yang satu lagi ngotot pada aspek teologis bahwa Islam datang dari Tuhan. Apakah para pengusung Islam Nusantara tidak meyakini bahwa Islam datang dari Allah? Tentu saja mereka paham dan iman. Mereka berulang-ulang menyampaikan, termasuk Profesor Azyumardi, Kyai Said Aqil Siradj, dan Kyai Ma’ruf Amin yang saat itu belum jadi Wapres, bahwa istilah Islam Nusantara bukan Islam sekte baru dan bukan agama baru yang menolak wahyu dari Allah. Ini soal “Islam yang dipraktikkan dalam ranah budaya”. Kyai Muhyiddin Junaidi yang meyakini Islam dari Allah, kenapa masih memakai peci dan sarung (budaya Nusantara) ketika shalat? Juga HRS mengapa memakai udeng-udeng ikat kepala dan gamis ala (budaya) orang Yaman dan Saudi? Tapi kelihatannya perdebatan ini lebih kental unsur “politiknya” dan “mitos konspirasi” daripada perdebatan akademik.
Kemudian, pandangan teologis orang-orang HTI, beberapa orang MUI dan mereka yang sepaham, mengonfirmasi kembali Tesis Muhammad Arkoun dulu bahwa bagi kelompok-kelompok fundamentalis-konservatif, Islam itu seolah “supra historis”, Islam itu di luar sejarah, bukan di dalam sejarah (within history). Tuhan itu “mengatasi” sejarah, sehingga agama tidak kenal sejarah (konteksnya). Arkoun mengkritik cara pandang kaum Muslim yang model begini, yang anti-sejarah.
Arkoun menyebut kaum Muslim model begini sebagai kaum fundamentalis, dalam pengertian “menganut Islam anti-historis”. Islam sejak masa Nabi sampai hari ini seolah-olah sama saja. Kalau pun tidak sama harus diubah supaya sama dengan abad ke-7, yakni masa Nabi. Masa lalu selalu dipandang “lebih bermakna” dari masa kini. Banyak persoalan agama dan kemanusiaan masa kini yang selalu dicari semua solusinya dari 10 atau 15 abad lalu. Pemikiran dan praktik keagamaan masa lalu selalu ingin dihadir-hadirkan untuk mengatasi problem keagamaan masa kini yang sudah jauh berkembang dan kompleks.
Menurut banyak sarjana Muslim progresif, dilihat dari sisi ilmu pengetahuan, pandangan kaum konservatif-fundamentalis ini punya implikasi serius. Bukan saja menyebabkan umat Islam jadi “jumud” dan “tertutup” tetapi juga menyebabkan ilmu pengetahuan, termasuk Studi Ilmiah Islam, yang salah satu tulang punggungnya adalah “yang empiris” dan “data historis”, menjadi tidak berkembang karena menutup mata dari konteks-konteks historis, sosiologis, politis dan antropologis. Melulu hanya memandang dari sisi teologis.
Prof. Dr. Media Zainul Bahri, MA, adalah Guru Besar Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.