Jakarta, Liputan9.id – Dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021, ditetapkan bidang usaha industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt terbuka untuk penanaman modal baru di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan setempat. Salah satu media melaporkan, Anggota Dewan Perwakilan daerah (DPD) RI dari Papua Filep Wamafma menolak keputusan pemerintah untuk membuka izin investasi untuk industri minuman keras (miras) atau minuman beralkohol di Papua. Diketahui, Papua menjadi salah satu dari tiga provinsi lain yang diberikan izin pembuatan industri miras yaitu Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara.
Rencana demonstrasi dari masyarakat tentang Per-Pres Miras, membuktikan kependulian mereka terhadap generasi penerus bangsa yang sehat dan moral semakin nyata. Penolakan sebagian masyarakat ini cukup beralasan, sebab lembaran sejarah mencatat, bagaimana seteguk minuman keras telah memicu segala jenis kejahatan, mulai jaman klasik sampai modern.
Apabila dilacak dari akar sejarah, di kalangan masyarakat Jahiliyah, kebiasaan menenggak botol minuman keras dan mabuk-mabukan dianggap simbol kenikmatan tertinggi. Miras di mata mereka merupakan hadiah berharga. Bahkan mayoritas lelaki Jahiliyah adalah pemabuk berat kecuali 3 orang; Rosulullah Muhammad saw., sahabat Abu Bakar dan Ustman bin Affan. Sehingga mabuk dan teler dianggap sebagai kebanggaan sejati. Merupakan prestise tersendiri, jika seseorang mampu menggelimangi dirinya dengan minuman keras, karena hal itu dipandang sebagai bukti kedermawanan (karomah). Tidak itu saja, komoditas unggulan dari Hijaz yang diperebutkan para pedagang di pasar International di zaman Nabi Muhammad saw sebagaimana disinggung dalam surat Quraisy (surat nomor 196) adalah susu, madu, dan khamr. Penelitian terhadap syi’ir Arab pra Islam menunjukkan bahwa mabuk-mabukan sudah menjadi sindrom. Di tengah situasi kurang kondusif semacam inilah respons Al-Qur’an terhadap miras harus ditelaah.
Landasan Teologis
Miras dalam al Qur’an disebut khamar, diambil dari bahasa Arab yang berarti arak atau tuak (pengertian dalam bahasa Indonesia), bersifat memabukkan karena mengandung alkohol. Dinamakan khamar karena: 1) bisa menghilangkan akal, 2) dalam proses pembuatannya selalu ditutupi agar tidak tertimpa sesuatu yang bisa merusaknya, di samping untuk menjaga kwalitas, dan 3) bisa merusak kapabilitas (fungsi) akal.
Dalam perspektif fiqh, khamar adalah setiap minuman yang memabukkan, sedikit atau banyak. Hal ini merujuk pada teks hadis Nabi yang diriwayatkan Ibn Umar; yang artinya, “Setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram”.
Pada periode Makkah, al Qur’an menyebut miras sebagai salah satu rahmat Allah SWT bersama-sama susu dan madu (Al Qur’an, Al-Nahl/16:67).
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ(67)
Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
Respons Al-Qur’an ini tetap dipertahankan selama periode Makah. Ketika kaum muslimin hijrah ke Madinah, dikabarkan di sana terdapat sekelompok umat Islam di antaranya Umar bin Khattab dan Mu’adz bin Jabal yang menginginkan agar Allah SWT melakukan pelarangan konsumsi miras. Fenomena semacam ini, terekam dalam al Qur’an, surat Al-Baqarah, 2:21
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya”.
Selang beberapa waktu, diselenggarakan pesta meriah di salah seorang dari kalangan Anshar, bernama Abdurrahman bin ‘Auf, dan terjadilah pesta mencekik botol miras hingga mereka teler. Ketika salah seorang dari mereka, yaitu sahabat Ali RA menjadi imam untuk shalat malam, ia keliru bacaannya karena mabuk. Ketika peristiwa itu dilaporkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka turun ayat Al Qur’an surat An-Nisa’/4:43;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.
Tetapi ayat ini belum memberikan solusi yang tegas mengenai miras selain membatasi pengkonsumsiannya. Sementara kebiasaan mabuk-mabukan pun masih tetap berjalan di kalangan sahabat Nabi. Dikisahkan setelah beberapa waktu kemudian, diadakan pesta lain di taman salah seorang sahabat, yang bernama Atban bin Malik dan mengundang kaum muslimin, salah satunya Sa’ad bin Abi Waqas. Dalam pesta meriah ini, miras kembali dihidangkan dan dalam tempo tidak terlalu lama mereka mabuk, sehingga terjadi pertikaian antara golongan Muhajirin dan Anshar. Bahkan menurut satu riwayat, sahabat Sa’ad bin Abi Waqas mengalami cidera yang cukup serius di kepalanya karena dipukul tulang geraham unta. Seketika itu Sa’ad bin Abi Waqas menemui Nabi dan melaporkan perlakuan kaum Anshar terhadap dirinya, sampai akhirnya turun surat Al Maidah/5:90
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(90)
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Dalam kasus miras ini, ditemukan respons Al-Qur’an masih mentoleransi pengkonsumsian minuman keras, bahkan dianggap sebagai salah satu anugerah Tuhan. Nampaknya ketika itu pengkonsumsian miras belum menimbulkan ekses yang serius bagi kaum muslimin.
Ketika umat Islam hijrah ke Madinah, mereka tidak saja berubah menjadi suatu masyarakat global, tapi juga menjadi semacam negara Islam. Pengkonsumsian miras menjadi suatu problema serius. Di sinilah Al Qur’an mulai memberi respons yang jelas. Pertama-tama, dengan menyatakan bahwa di dalamnya terdapat kejahatan besar dan juga unsur manfaat, tetapi kejahatannya lebih dominan dibandingkan manfaatnya. Kedua, diadakan penegasan yang lebih ketat dengan melarang melaksanakan shalat dalam keadaan mabuk. Yang terakhir, ketika pengkonsumsian miras telah mengancam integritas sosial, maka larangan pengkonsumsian miras secara eksplisit turun. Pelarangan ini menurut jumhur ulama terjadi pada tahun III hijriyah setelah perang Uhud, walaupun Al Khatib berpendapat, larangan itu terjadi pada tahun II hijriyah.
Larangan pengkonsumsian miras memiliki landasan kuat, karena eksesnya yang negatif dan cenderung destruktif baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Abu Laits ada sepuluh hal yang akan menggiring kepada kahinaan dan posisi yang tercela akibat minuman keras, yaitu: 1) pelakunya seperti orang gila, 2) melenyapkan kesadaran dan pemborosan, 3) menimbulkan pertikaian dan merusak integritas, 4) menghalangi untuk mengingat Allah dan mengerjakan shalat, 5) menggiring perbuatan zina, 6) membuka peluang untuk mentalak istri tanpa disadari, 7) sumber malapetaka dan kejahatan, 8) mencemarkan kredibilitas keluarga sebab peminum arak dengan sendirinya menjadi fasiq, 9) tertutupnya pintu berkah bagi dirinya, karena kebaikan dan do’anya tidak diterima selama 40 hari, dan 10) Dikhawatirkan mati dalam keadaan kafir.
Demikianlah respons Al-Qur’an terhadap miras, periodisasi pengharaman, dan ekses destruktifnya. Apapun dalihnya, pengkonsumsian miras tidak akan membawa sistuasi yang kondusif bagi tatanan umat manusia. Untuk itu, usaha pemerintah dalam membatasi dan memberi sanksi tegas terhadap pelanggaran miras –kalau perlu melarang– pengkonsumsian miras, sebagaimana dulu dinyatakan dalam RUU Minuman Beralkohol labih 5 tahun yang lalu (2015), tentu sangat diharapkan. Wallahu A’lam.
Dr. KH. Fuad Thohari, MA., adalah seorang pendakwah juga akademisi yang bergelut dalam bidang Tafisr dan Hadist. Setelah menimba ilmu di Ponpes Salaf Al – Falah, Ploso, Kediri, Jawa Timur, beliau kemudian menempuh pendidikan perguruan tinggi hingga s3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam bidang Tafsir Hadist. Alumni Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI ini merupakan dosen di Sekolah Pascasarjana almamaternya dan mengisi berbagai kajian keagamaan di masjid, majlis taklim, seminar ilmiah, stasiun televisi dan radio di wilayah Jabodetabek. Di tengah padatnya kegiatan tersebut, beliau juga aktif terlibat dalam organisasi keagamaan Majelis Ulama’ Indonesia wilayah DKI Jakarta dalam bidang fatwa, dan aktif di Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama’ PBNU. Memiliki sejumlah karya yang dapat dilihat di http://penerbitbukudeepublish.com/penulis/fuad-thohari/ dan beberapa judul di bawah ini; 1.Hadis ahkam; kajian hukum pidana islam 2.Kumpulan Fatwa MUI DKI jkt 2000 sd 2018…(5 buku). 3.Manasik Haji dan Umroh 4.Metode Penetapan Fatwa bagi Da’i 5.Artikel jurnal nasional (puluhan judul) 6.Deradikalisasi Pemahaman al Qur”an dan Hadis 7.Khutbah Islam tentang Terorisme 8.talkshow di TV nasional, Radio, dll. Selain itu, beliau pernah melakukan penelitian di berbagai negara, antara lain; Malaysia, Singapore, Thailand, India, China, Mesir, Palestina, Yordania, Iran , Turki, Saudi Arabia, Tunisia, dll. Beliau bisa dihubungi langsung via WA (081387309950)