Jakarta, LIPUTAN 9 NEWS
“Saya cuma merasa malu kalau kiprah kita di kehidupan ini hanya mengandalkan siapa orang tua atau nenek moyang kita. Apalagi kalau ternyata kualitas baik ilmu maupun akhlak serta pencapaian kita jauh dari kata layak. Seharusnya orang tua yang bangga dengan kita, bukannya kita yang malah membanggakan orang tua padahal kitanya zonk,” (Gus Nadir)
Saya selalu menghindar membahas kontroversi soal nasab Ba Alawi. Begitu juga ketika ada pertanyaan tentang si A dan si B yang gak jelas silsilah nasabnya tapi mendadak dipanggil Gus. Saya cenderung diam.
Saya cuma merasa malu kalau kiprah kita di kehidupan ini hanya mengandalkan siapa orang tua atau nenek moyang kita. Apalagi kalau ternyata kualitas baik ilmu maupun akhlak serta pencapaian kita jauh dari kata layak. Seharusnya orang tua yang bangga dengan kita, bukannya kita yang malah membanggakan orang tua padahal kitanya zonk.
Ada yang memang membanggakan NASAB lengkap dengan sebutan dan atribut yang menyertainya, demi mengubah NASIB untuk meraih NISAB.
Tapi ya biarlah itu urusan mereka. Urusan kita ya fokus saja dengan kiprah, prestasi dan menjadi orang yang selalu bermanfaat buat sesama.
Sewaktu saya melamar menjadi dosen di Australia dan mesti bersaing ketat dengan 400-500 pelamar dari seluruh dunia untuk satu posisi, mereka tidak tahu siapa orang tua saya. Mereka tidak tahu saya dari ormas mana.
Mereka malah tidak peduli jumlah follower saya di medsos atau berapa banyak jamaah yang cium tangan saya selepas ceramah di tanah air.
Selain ijazah, yang mereka nilai itu publikasi di level internasional, research grant dan kemampuan mengajar di depan mahasiswa dengan bahasa Inggris.
Saya berkali-kali melamar dan gagal untuk mendapatkan posisi akademik di kampus luar negeri. Tidak ada katabelece dari petinggi negeri atau ulama besar. Yang ada surat referensi dari para professor yang pernah membimbing saya atau pernah riset bareng.
Harus melewati berbagai tahapan: dari mulai seleksi berkas, wawancara, seminar/ngajar, sampai akhirnya dinyatakan lolos. Itupun setelah jadi dosen saya harus minimal satu publikasi internasional setiap tahun (yes, setiap tahun, bukan cuma 1-2 x publikasi internasional hanya untuk mendapat gelar Guru Besar).
Jadi, siapapun punya kesempatan yang sama (fair go) untuk sukses tanpa bicara soal nasab. Yang lebih penting itu adalah supporting system untuk kita bisa maju dan terus berprestasi, baik di level keluarga, masyarakat maupun negara.
Jadi, mulailah merasa malu cuma modal nasab belaka. Tabik,
Prof. KH. Nadisyah Hosen, Ph.D. Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School. Juga sebagai Wakil Ketua Dewan Pengasuh Pesantren Takhasus IIQ Jakarta.
Migraine attacks are often seen in the second half of the menstrual cycle pastillas priligy en mexico Tamoxifen dependent recruitment of coactivators to the EpRE sequence of NQO1 a Representation of NQO1 gene locus with the thick lines representing regions analyzed in subsequent PCR experiments