Saking pentingnya adab, dalam ranah apapun, sampai-sampai sebuah adagium mengatakan:
ألأدب فوق العلم
Adab itu di atas ilmu
Atau, dalam adagium lain dikatakan:
ألأدب فوق الكل
Adab di atas segalanya
Dalam Hilyatul Awliyâ’ dikisahkan bahwa Malik bin Anas pernah berkata:
تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
Pelajarilah adab sebelum engkau pelajari ilmu.
Saat orang tua kita, guru kita, atasan atau pimpinan kita sedang berbicara dengan kita, sikap normal kita tentu: Lisan kita diam dan telinga kita mendengarkannya. Itu adalah adab yang standar.
Lalu bagaimana jika Tuhan yang menciptakan kita, yang menciptakan semesta alam, yang serba Maha, sedang berbicara dengan kita melalui firman-Nya?
Yang perlu kita sadari bahwa al-Qur’an adalah Kalâmullâh, Perkataan Allah, atau biasa kita sebut dengan Firman Allah. Diam dan mendengarkan, itulah adab standar yang Allah tuntut dari kita:
وَاِذَا قُرِئَ الْقُرْاٰنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat._ (QS. Al-A’raf: 204)
Asbâb an-nuzûl (sebab turunnya) ayat di atas memang terkait dengan shalat. Namun, sebuah kaidah mengatakan:
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Ibrah (pelajaran) diambil dari keumumam redaksi, bukan dari kekhususan sebab yang melatarbelakangi.
Seperti kasus di luar konteks shalat yang tercantum di dalam _ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr_ yang lazim disingkat dengan Tafsîr As-Suyûthiy:
وأخرج أبو الشيخ عن عثمان بن زائدة، أنه كان إذا قرئ عليه القرآن غطى وجهه بثوبه، ويتأول من ذلك قول الله {وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا} فيكره أن يشغل بصره وشيئا من جوارحه بغير استماع
Diriwayatkan oleh Abu as-Syeikh dari Utsman ibn Zaidah bahwa jika al-Qur’an sedang dibacakan di hadapannya maka ia menutup wajahnya dengan pakaiannya, sebagaimana yang ia pahami dari ayat {Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah…}, karena ia tidak suka matanya serta seluruh anggota tubuhnya disibukkan oleh sesuatu selain mendengarkan (ayat yang sedang dibacakan).
Maka menjadi abnormal dan niradab (tidak beradab) ketika firman Tuhan dibacakan, dan sikap kita justru jauh dari adab diam dan mendengarkan, alih-alih berupaya untuk memahami artinya dan menyelami maknanya, untuk kemudian mentaati setiap perintah dan larangan yang termuat di dalamnya dan berakhlaq mulia sesuai tuntunannya.
Seperti yang saat ini sedang heboh: Nyawer qari’/qari’ah yang sedang membaca al-Qur’an. Sambil diselingi suara-suara riuh tawa dan sejenisnya. Meski atas nama budaya manapun, sikap seperti itu sudah mengkhianati adab standar yang diajarkan oleh al-Qur’an itu sendiri.
Di dalam Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân dikatakan:
استماع القرآن والتفهم لمعانيه من الآداب المحثوث عليها، ويكره التحدث بخضور القرآن. قال الشيخ أبو محمد بن عبد السلام: والإشتغال عن السماع بالتحدث بما لا يكون أفضل من الاستماع سوء الأدب على الشرع
Fokus menyimak (bacaan) al-Qur’an dan berupaya untuk memahami kandungan maknanya adalah termasuk dari adab yang ditekankan. Dan berbicara saat al-Qur’an dibacakan adalah hal yang dibenci. Syeikh Abu Muhammad ibn Abdus Salam berkata: Sibuk berbicara tentang hal-hal yang tidak lebih baik dibanding mendengarkan (al-Qur’an) adalah adab yang buruk terhadap syariat.
Demikianlah, semoga fenomena nyawer qari’/qari’ah tidak menjadi tradisi yang justru mengkhianati al-Qur’an dan menghilangkan keberkahan bacaan al-Qur’an itu sendiri.
KH. A. Muzaini Aziz, Lc, MA, Penulis adalah Ketua Bidang Pendidikan, Kaderisasi dan Riset PP LADISNU (Pimpinan Pusat Lajnah Dakwah Islam Nusantara), Lajnah Falaqiyah PWNU Banten, Wakil Katib Syuriah PWNU Jakarta, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Kota Tangerang, salah satu Hakim MTQ-LPTQ Kota Tangerang, Ketua Yayasan Al-Mu’in Kota Tangerang, Pengasuh Majelis Khayr Ummah Kota Tangerang dan lainnya.