Makkah, LIPUTAN 9 NEWS
Rombongan 8 Kloter 25, memutuskan mengambil Nafar Awal, Senin 11 Juli 2022 pagi2 bakda Subuh setelah terbit matahari melontar 3 Jamarot (ula/sughro), (wustho), (Aqabah/kubro) dan jam 09.30 Waktu Mekah, meninggalkan Mina balik ke Hotel di Mekah.
Bagi yang memutuskan Nafar Awal, bagaimana pelaksanaan lempar Jamarat? Kapan waktu melempar? Kapan meninggalkan Mina balik ke Mekah? Ini pertanyaan yang banyak disoal jama’ah haji.
Setelah bolak balik menelaah 3 kitab: 1. [al Mughni fi Fiqh al Haji) karya Sa^id bin Abdul Qaadir, 2. Al-Idlah fi Manasik al Hajji wa al-Umroh, karya imam al Nawawi al Dimasyqi 3. Al-Hajju Fadlaailun wa Ahkaamun, karya Sayid Alawi bin Abbas al Maliki disimpulkan:
- Bagi yang mau mengambil NafarAwal, boleh melempar jamarat 3 tugu setelah jam 24.00 malam, sekaligus keluar meninggalkan Mina pagi2 sebelum Dhuhur, ikut pendapat ulama mazhab Hanafi.
- Jama’ah haji yang melempar 3 jumrah [marma] sejak tengah malam Ayyam Tasyriq, hukumnya boleh, diqiyaskan dgn waktu melempar jumrah Aqabah, yang sudah bisa (boleh) dilakukan ba’da Zawal (setelah kurang lebih jam 24.00 malam), meskipun afdalnya…setelah masuk waktu Dhuhur..Ini redaksi ulama Hanafiyah. Bahkan kasus ekstremnya, di hari Tasyriq pertama, tgl 11 Dzulhijjah, melempar 3 jumroh jam 23.00 malam. Selesai melempar 3 Tugu jam 23.30..untuk tgl 11 Dzul Hijjah, lalu duduk istirahat 30 menit..langsung lanjut melempar lagi 3 Tugu Ula, Wustha, dan Aqabah jam 24.15 (stlh yakin bakda Zawal) untuk tanggal 12 Dzul Hijjah..praktek seperti ini juga dibolehkan dan sah, ikut fatwa mazhab Hanafi.
Kalau ikut fatwa mazhab Syafi^iy, permulaan melempar jumrah Ayyam Tasyriq, wajib dilakukan setelah zawal Dhuhur (masuk waktu Dhuhur) sampe sebelum masuk tengah malam.
Dengan demikian, semua ketentuan melempar 3 jumrah Ayam Tasyriq menurut mazhab Hanafi, waktunya bisa seperti lempar Aqabah…Meskipun afdalnya, melempar 3 jumrah Ayyam Tasyriq, setelah masuk waktu Dhuhur…Mazhab Syafii bersikap lebih tegas, melempar 3 jamarat Ayyam Tasyriq,, wajib ba^da zawal (setelah masuk waktu Dhuhur)).
Semoga penjelasan ini bisa menjawab pertanyaan2 yang selama ini terjadi, sekaligus memantapkan pilihan dalam menjalankan manasik berdasarkan riwayat yang jelas, dan bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiyah-akademik.
Pendapat yang saya kutip ini akan direvisi apabila dikemudian hari diketemukan literatur yang lebih kredibel dan lebih valid.
Prof. Dr. KH. Fuad Thohari, MA., adalah Ketua Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) dan seorang pendakwah juga akademisi yang bergelut dalam bidang Tafisr dan Hadist. Setelah menimba ilmu di Ponpes Salaf Al – Falah, Ploso, Kediri, Jawa Timur, beliau kemudian menempuh pendidikan perguruan tinggi hingga s3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam bidang Tafsir Hadist.
Alumni Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI ini merupakan dosen di Sekolah Pascasarjana almamaternya dan mengisi berbagai kajian keagamaan di masjid, majlis taklim, seminar ilmiah, stasiun televisi dan radio di wilayah Jabodetabek. Di tengah padatnya kegiatan tersebut, beliau juga aktif terlibat dalam organisasi keagamaan Majelis Ulama’ Indonesia wilayah DKI Jakarta dalam bidang fatwa, dan aktif di Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama’ PBNU.
Memiliki sejumlah karya yang dapat dilihat di http://penerbitbukudeepublish.com/penulis/fuad-thohari/ dan beberapa judul di bawah ini; 1. Hadis ahkam; kajian hukum pidana islam 2. Kumpulan Fatwa MUI DKI jkt 2000 sd 2018…(5 buku). 3. Manasik Haji dan Umroh 4. Metode Penetapan Fatwa bagi Da’i 5. Artikel jurnal nasional (puluhan judul) 6. Deradikalisasi Pemahaman al Qur”an dan Hadis 7. Khutbah Islam tentang Terorisme 8. talkshow di TV nasional, Radio, dll. Selain itu, beliau pernah melakukan penelitian di berbagai negara, antara lain; Malaysia, Singapore, Thailand, India, China, Mesir, Palestina, Yordania, Iran , Turki, Saudi Arabia, Tunisia, dll. Beliau bisa dihubungi langsung via WA (081387309950)