Pimpinan Ponpes Al-Zaitun, Hendaknya Menjelaskan Kepada Masyarakat Tentang Aspek Fikih Shalat Idul Fitri
Jakarta, LIPUTAN9.ID – Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH. Abdul Muiz Ali menanggapi praktik shalat Idul Fitri yang dilaksanakan di pondok pesantren Al-Zaitun yang belakangan viral di sosial media.
Menurut Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat yang juga pengasuh pondok pesantren Miftahul Ulum Jakarta, Institusi pondok pesantren di Indonesia selama ini menjadi menjadi pusat percontohan dalam keistikamahan merawat akidah dan tradisi ibadah ahlussunah waljamaah.
“Sangat disayangkan sekali kalau ada tradisi amaliyah yang dikembangkan di pesantren justru menjadi sebab kegaduhan di masyarakat,” ungkap Kiai Muiz.
Kiai Muiz menjelaskan, praktik shalat Idul Fitri mensejajarkan shaf atau barisan laki-laki dan perempuan seperti yang dilaksanakan di pondok pesantren Al Zaitun terasa tidak pantas dilakukan oleh lembaga pendidikan pesantren.
“Ekslusifitas model keagamaan di pondok pesantren Al-Zaitun cenderung membuat gaduh di masyarakat,” ujarnya pada liputan9.id, Kamis, (27/04).
Pimpinan pesantren Al-Zaitun akan lebih arif jika menjelaskan kepada masyarakat perihal amaliyah yang selama ini dilakukan, termasuk yang lagi viral tentang praktik atau tatarlcara shalat Idul Fitri yang lagi viral sekarang.
“Secara ketentuan fikih, perihal mensejajarkan shaf antara laki-laki dan perempuan dalam shalat berjamaah hampir semua ulama mengatakan makruh. Perbuatan makruh itu termasuk perbuatan tercela, terlebih dilakukan oleh orang atau lembaga yang seyogianya menjadi percontohan masyarakat,” papar ulama asal Bangkalan Madura tersebut.
Kiai AMA beliau biasa dipanggil menjabarkan bahwa Hukumnya makruh mensejajarkan shaf laki-laki dan perempuan dalam shalat berjamaah dapat merujuk pada hadis Nabi dan beberapa pendapat ulama.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,
خَيْرُ صُفُوفِ اَلرِّجَالِ أَوَّلُهَا، وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ اَلنِّسَاءِ آخِرُهَا، وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا -رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“Sebaik-baiknya shaf laki-laki adalah yang shaf yang pertama, dan seburuk-buruknya shaf mereka adalah yang paling terakhir. Sedang sebaik-baiknya shaf perempuan adalah yang paling akhir, dan seburuk-buruknya adalah yang pertama” (H.R. Muslim).
Hikmah dalam agama mengatur cara shalat berjamaah antara lain menghindari percampuran laki-laki dan perempuan.
وإنما فضل آخر صفوف النساء الحاضرات مع الرجال لبعدهن من مخالطة الرجال ورؤيتهم وتعلق القلب بهم عند رؤية حركاتهم وسماع كلامهم ونحو ذلك
“Diutamakannya shaf akhir bagi para wanita yang hadir bersamaan dengan lelaki dikarenakan hal tersebut menjauhkan mereka dari bercampur dengan laki-laki, melihatnya lelaki (pada mereka), dan menggantungnya hati para wanita kepada lelaki ketika melihat gerakan lelaki dan mendengar ucapan lelaki dan semacamnya.” (Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 13, hal. 127)
ويجب أن يضرب بين الرجال والنساء حائل يمنع من النظر فإن ذلك أيضا مظنة الفساد والعادات تشهد لهذه المنكرات
“Wajib untuk menempatkan penghalang antara laki-laki dan perempuan yang dapat mencegah pandangan, sebab hal tersebut merupakan dugaan kuat (madzinnah) terjadinya kerusakan dan norma umum masyarakat memandang ini sebagai bentuk kemungkaran.” (Al-Ghazali, Ihya’ ulum ad-Din, juz 3, hal. 361)
Dalam penjelasan lain disebutkan :
وإن كان معه رجال ونساء الامام فى الصلاه ثبت قليلا لينصرف النساء ، فإن انصرفن وثب لئلا يختلط الرجال بالنساء
“Ketika terdapat laki-laki dan perempuan yang bersamaan dengan imam dalam shalat maka imam menetap (di tempatnya) sejenak agar jamaah perempuan bubar terlebih dahulu, ketika jamaah perempuan sudah bubar maka imam berdiri (untuk bubar). Hal tersebut dilakukan agar tidak bercampur antara laki-laki dan perempuan.” (Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz 23, hal. 497)
Perincian hukum di atas secara tegas dijelaskan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah:
وصرح الحنفية بأن محاذاة المرأة للرجال تفسد صلاتهم . يقول الزيلعي الحنفي : فإن حاذته امرأة مشتهاة في صلاة مطلقة – وهي التي لها ركوع وسجود – مشتركة بينهما تحريمة وأداء في مكان واحد بلا حائل ، ونوى الإمام إمامتها وقت الشروع بطلت صلاته دون صلاتها ، لحديث : أخروهن من حيث أخرهن الله (2) وهو المخاطب به دونها ، فيكون هو التارك لفرض القيام ، فتفسد صلاته دون صلاتها . وجمهور الفقهاء : (المالكية والشافعية والحنابلة) يقولون : إن محاذاة المرأة للرجال لا تفسد الصلاة ، ولكنها تكره ، فلو وقفت في صف الرجال لم تبطل صلاة من يليها ولا من خلفها ولا من أمامها ، ولا صلاتها ، كما لو وقفت في غير الصلاة ، والأمر في الحديث بالتأخير لا يقتضي الفساد مع عدمه
“Mazhab Hanafiyah menegaskan bahwa sejajarnya posisi perempuan dengan barisan shaf laki-laki dapat merusak (membatalkan) shalat mereka (para laki-laki). Imam Az-Zayla’i al-Hanafi mengatakan, ‘Jika perempuan yang (berpotensi) mendatangkan syahwat sejajar dengan lelaki dalam shalat mutlak yakni shalat yang terdapat rukun ruku’ dan sujud, dan keduanya bersekutu dalam hal keharaman dan melaksanakan shalat di satu tempat yang tidak ada penghalangnya, lalu imam niat mengimami perempuan tersebut pada saat melaksanakan shalat maka shalat lelaki tersebut batal, tapi tidak batal bagi perempuan.’ Hal ini berdasarkan hadits, ‘Kalian akhirkan mereka (perempuan) seperti halnya Allah mengakhirkan mereka.’ Lelaki pada hadits tersebut merupakan objek yang terkena tuntutan syara’ (al-mukhatab) bukan para wanita, maka lelaki dianggap meninggalkan kewajiban menegakkan tuntutan tersebut hingga shalatnya menjadi rusak (batal) namun tidak bagi shalat para perempuan.
Sedangkan mayoritas ulama fiqih (mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) mengatakan, “Sejajarnya shaf perempuan dengan laki-laki tidak sampai membatalkan shalat, hanya saja hal tersebut makruh. Jika perempuan berdiri di shaf laki-laki maka tidak batal shalat orang yang ada di sampingnya, di belakangnya ataupun di depannya; dan juga tidak batal shalat yang dilakukan oleh dirinya, seperti halnya ketika mereka (perempuan) berdiri pada selain shalat. Perintah dalam hadits untuk mengakhirkan shaf (perempuan) tidak menetapkan batalnya shalat ketika tidak melakukannya.” (Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, juz 6, hal. 21).
Jadi praktek shalat Idul Fitri yang dilakukan Pondok Al Zaytun itu makruh, bahkan ada ulama yang menghukumi tidak sah,” tutup Kiai AMA. (Ai)