Jakarta, Liputan9.id – Said Aqil Siroj (SAS) Institute memberikan tanggapan terhadap penolakan rencana pendirian gereja di kota Cilegon, yang diprakarsai oleh kelompok yang menamakan diri sebagai Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon, dan juga ditanda tangani oleh Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon, pada (07/09).
Said Aqil Siroj (SAS) Institute, sangat menyesalkan hal ini dan menyatakan beberapa sikap tegas terhadap peristiwa intoleransi yang disampaikan melalui Direktur ekskutifnya, Dr Sa’dullah Affandy, Senin (12/09/2022).
Menurut Direktur Eksekutif SAS Institute Dr. H. Sa’dullah Affandy, bila ada alasan historis yang melatar belakangi penolakan gereja tersebut atau penolakan itu didasari pada Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/ SK/1975, tanggal 20 Maret 1975, yang mengatur tentang Penutupan Tempat Jemaah Bagi Agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang, sekarang Cilegon, maka alasan apapun, seharusnya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.
“Selama daerah itu masih dalam NKRI maka harus tunduk kepada konstitusi. Maka SK Bupati tersebut harus dibatalkan, karena ini dapat dinilai sebagai upaya makar,” ujar Dr Sa’dullah, saat ditemui jurnalis liputan9.id dalam acara Haul KH. Aqil Siroj Pondok KHAS Kempek Cirebon.
Kata Dr Sa’dullah, tindakan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon dengan ikut menyutujui penolakan pendirian rumah ibadah (gereja) jelas melanggar Hak Asasi Manusia, di mana pemerintah seharusnya menjamin kebebasan beragama dan beribadat warganya.
“apa yang dilakukan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon dengan ikut menyetujui penolakan pendirian gereja, lebih karena mengikuti desakan warga atau kelompok yang intoleran, dan kurang mempertimbangkan konstitusi, HAM, PMB 2 Menteri tentang pendirian tempat ibadah. Ini jelas tidak benar,” tegas mantan Atase Ketenagakerjaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Riyadh.
SAS Institute secara tegas menyampaikan bahwa, apa yang dilakukan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon dengan ikut menandatangani penolakan pendirian geraja, adalah jelas pelanggaran terhadap konstitusi.
“yakni UUD Pasal 29 ayat 2, yang menjamin setiap warga negara bebas memeluk agama daan beribadat berdasarkan agama dan kepercayaaanny,” papar penulis buku Menyoal Status Agama-Agama Pra-Islam tersbut. (*)