Hingga hari ini platform digital media sosial masih ramai dengan pembahasan soal ke(tak)tersambungan nasab para habaib Indonesia dengan Nabi SAW.
Percakapan telah melibatkan publik awam. Meteri pembicaraan pun mulai melebar ke mana-mana dengan balutan prasangka dan ancaman.
Mungkin karena sudah mulai mengkhawatirkan, seorang mahasiswa bertanya, “Bagaimana kalau nasab para habaib itu betul-betul tak tersambung pada Nabi SAW? Apa tidak berefek pada pemurtadan massal?”.
Saya menjawabnya demikian. Pertama, kalau –sekali lagi “kalau” (لو) terbukti secara ilmiah bahwa nasab para habaib Indonesia tidak tersambung pada Nabi, kita masih memiliki banyak alasan untuk tetap menghormati beliau-beliau.
Kita bisa tetap hormat dan ta’zhim pada Ustadz Quraish Shihab misalnya sebagai orang alim, orang sholih dan orang yang lebih tua.
Kita bisa tetap mencium tangan Ustadz Quraish (sekalipun beliau tak pernah mau) misalnya sebagai orang yang berakhlak mulia karena lisannya tak pernah berkata-kata keji dan kotor.
Kedua, saya tak pernah berfikir bahwa polemik soal habaib ini akan memiliki efek cukup jauh: pemurtadan massal.
Sebab, walisongo yang saat itu tidak dikenal dan tidak memperkenalkan diri sebagai dzurriyah Nabi saja bisa membawa orang-orang Nusantara ke dalam Islam secara massal (يدخلون فى دين الله افواجا).
Dibanding era walisongo, meminjam bahasa Allah yarham KH Sofyan Miftahul Arifin (Situbondo)– “perkakas Islam” hari ini dalam kondisi sangat baik. Kita memiliki puluhan ribu pondok pesantren dan jutaan para kiai dan ustadz yang menyebar di berbagai pelosok tanah air.
Dalam kondisi demikian, maka “mencemaskan” pemurtadan massal adalah kecemasan yang tak beralasan. Karena itu, tak diperlukan.
Dengan dua penjelasan tersebut, mahasiswa tadi diam. Saya tidak tahu, apakah diamnya yang bersangkutan menunjukkan persetujuan dan kepuasaan atau masih mengkhawatirkan pemurtadan. Wallahu a’lam bis shawab.
Dr. KH. Abdul Moqsith Ghazali, MA, Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)