Dinamika masyarakat berkembang pesat, dimulai era primitif, agraris, industri lalu perkembangan berlanjut pada era reformasi. Bob Gordon (2013) mencatat setidaknya ada tiga gelombang besar revolusi industri. Pertama, era ditemukan mesin uap dan kereta api (1750). Kedua, era ditemukan listrik, bahan kimia dan minyak bumi (1870). Ketiga, era ditemukan komputer, internet dan telpon genggam (1960).
Empat tahun setelah era ketiga ini, yaitu tahun 1964, Jacques Ellul menulis buku yang sangat fenomenal, berjudul The Technology Soceity. Lalu Erich Formm, juga menulis The Revolution of Hope: Towards a Humanized Technology empat tahun setelahnya. Kedua buku ini meramalkan akan datang era melenial yang serba digital dan arus informasi begitu cepat, yaitu datangnya era revolusi industri 4.0 dan 5.0.
Bagian penting yang bisa ditarik dari dua buku itu adalah, jika arus informasi bertemu dengan mesin politik, mesin pasar dan proxy war, maka lahirlah sebuah ironi yang dahsyat, bahwa masyarakat akan mengalami proses dehumanisasi.
Karena tanpa sadar, keempat mesin itu akan menggerus sendi-sendi kemanusiaan, dan menjadikan masyarakat mengalami obyektifikasi dengan wajah abstrak dan ambigu. Masyarakat akan terserat pada cara pandang yang parsial, kulit luar dan cenderung reduksionistik.
Dampak lain yang mengerikan adalah tampilnya sejumlah masyarakat yang radikal pada agama dan politik kekuasaan. Bahkan akan orang sulit membedakan antara keduanya. Orang semacam ini akan bertebar dimana-mana, baik di dunia nyata maupun maya, terutama di kota-kota besar.
Begitu “dunia ini” banyak diisi oleh orang-orang yang sebenarnya belum mengetahui duduk perkara, apalagi pernah ”tahu”, ”mendengar”, ”mencicip”, ”menghirup”, atau ”meraba.” Tetapi ia sudah tampil di depan seolah-olah yang paling tahu, bahkan memposisikan dirinya bak seorang ahli agama dan hakim kepada dunia.
Salah satu dampak nyatanya pada ranah sosial-politik adalah masyarakat terbelah menjadi dua kelompok besar, yaitu Kadrun versus Bipang atau Kampret verus Cebong. Dua narasi yang awal kemunculannya dimulai sejak pra-Pemilu 2015, tetapi hari ini makin runcing, meski kedua kubu (Jokowi-Prabowo) sudah ada dalam satu pemerintahan.
Dari narasi Kadrun ini, lalu berkembang dan menjadi fenomena baru, ada kecendrungan sebagian aktifis islam, mulai anti-Arab dan menyoal penggunaan bahasa yang ada unsur Arabnya, dan menyebut mereka sebagai “antek” Kadrun. Mereka beranggapan, untuk berislam hanya perlu mengambil ajarannya, bukan kebudayaannya. Lalu mereka mendompleng jargon Islam Nusantara dengan wawasan sempit.
Mereka lupa, bahea dunia santri itu sangat akrab dengan istilah-istilah dari adaptasi bahasa Arab. Bahkan sebagian sudah menjadi percakapan sehari-hari, misalnya mereka menyebut istilah pembantu Kiai dengan Kodim, istri dengan harim, teman baik dengan karib, lalu ada roan, halal, tausiyah, khittah dan lainnya.
Di luar pesantren, juga ada misalnya dalam tata negara (legislatif, yudikatif dan eksekutif), misalnya Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Pemusyawaratan Rakyat (DPR), lalu Hakim, Terdakwah, Rakyat (ruiyat), Masyarakat (Musyarakat), Amanat, Wakil, dan lain sebagainya, ini hanya contoh kecil.
Kosa-kata bahasa Indonesia yang terserap dari bahasa Arab cukup banyak, bahkan menurut Jurnal Al-Islah (2018) dalam kajian Leksikologinya, diperkirakan ada sekitar 4000-5000 kata. Bahasa, dalam hal ini kosa-kata, dalam kajian sosiologi adalah salah satu unsur terpenting dalam kebudayaan, demikian pendapat Emile Durkheim dalam bukunya, The Rules of Sociological Method (New York; Free Press 1936) hal. 3-7.
Berpijak dari teori itu, maka berislam tidak mungkin sepenuhya bisa menjauh dari kebudayaan Arab, karena selain kitab Suci Islam itu berbahasa Arab, dalam banyak ritual, umat islam masih diwajibkan menggunakan bahasa Arab, seperti adzan dan shalat, juga ritual lainnya. Ibadah mahdzah itu menurut Khalil Abdul Karim dalam bukunya Juzur At-Tarikhiyah, sesungguhnya asal mulanya adalah warisan budaya Arab yang dilegalkan syariat.
Karena itu, dahulu para wali ketika menyebarkan Islam ke Nusantara tidak hanya merasa perlu membumikan istilah agama yang berbahasa Arab menjadi lokal, seperti shalat menjadi sembahyang, saum menjadi puasa, jannah menjadi surga dan nar menjadi neraka, tapi juga memasukkan istilah-istilah Arab dalam kenegaraan.
Di luar bahasa, para wali yang nota-banenya dari Arab juga berkontribusi pada proses berdirinya NKRI ini, misal para wali memperkenalkan konsep dasar negara dengan empat pembagian kekuaasaan di Kesultanan Nusantara (Pagaruyung), seperti diperkenalkan oleh Syekh Jumadil Kubro (Sayid al-Husain Jamaluddin al-Akbar) agar kekuasaan tidak menjadi feodal-monarkis.
(1) Sultan di Pagar Ruyong. (2) Titah di Sungai Terap. (3) Qadli di Padang Genting. (4) Makhdum di Sumanik. Konsep ini kemudian diadopsi dalam Kesultanan Demak: sultan (Raden Patah), patih (Patih Mangkurat), wali (Wali Songo=MPR-nya Demak), qadli (Sunan Kudus). (LOr 2305).
Selain itu, para wali juga mengajarkan Aswaja dengan empat mazhab, menegakkan keadilan dengan undang-undang, dan kemakmuran rakyat dengan cara nelayan, pertanian, pertukangan dan perdagangan yang yang ebih efektif. Para wali menyebut Nusantara dengan Negeri “Darussalam”, bukan Darul Islam. Sumber: (1) Naskah Tambo Minangkabau MS Ml 40 koleksi PNRI, h. 11. (2) Undang-undang Minangkabau, ditulis di Pagaruyung hari Senin tanggal 8 Syawal 1180 H/9 Maret 1767 M (Naskah RAS Maxwell Malay 047), f 41v.
Sementara, dalam sejarah Kesultanan Islam di seluruh Nusantara, dibelakangnya ada peran besar pendatang-Arab (habaib) yang bangga terhadap pribumi, bahkan Kesultanan Pontianak dididirikan oleh fam Al-Qodri Ba’lawi. Habib lain, untuk menyebut sedikit nama, diantaranya perancang lambang Garuda adalah Alhabib Abdul Hamid Alkadri.
Lalu perancang bendera merah putih kita adalah Alhabib Idrus Salim Aljufri, pencipta lagu Hari Merdeka kita adalah Alhabib Husain Muthahar, dan lain sebagainya. Pahamkah aktifis islam dari generasi melenial soal ini, yang tiap hari ketika mendengar nama Arab langsung membully dengan ‘Kadrun’?
Bukankah penyebutan istilah Kadrun itu mengandung muatan rasis?, yang itu paradoks dengan misi besar dengan diusungnya jargon Islam Nusantara demi tujuan humanisme yang rahmatan lilalamin, bukan untuk membanggakan diri dan “merendahkan” Arab. Wallahu’alam bishawab.
Kasongan, 9 November 2022.
Aguk Irawan MN, santri Alumni Darul Ulum, Langitan. Pernah kuliah jurusan Aqidah-Filsafat di Al-Azhar University Cairo dan Sekolah Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Pengajar Antropologi-budaya di STIPRAM Yogyakarta, serta di Ma’had Aly KH. Ali Maksum Krapyak dan STAI Pandanaran Yogyakarta. Buku terbarunya terbit di penerbit Mizan Group; Genealogi Etika Pesantren, Kajian Intertekstual (2018) dan Sosrokartono, Sebuah Biografi Novel (2018).