Banten, LIPUTAN 9 NEWS
Manhaj Salaf belakangan sangat gencar mempropagandakan tuduhan bid’ah dlolalah pada umat Islam Indonesia yang bermazhab Ahli Sunnah wal Jama’ah. Tuduhan bid’ah yang disebar melalui media sosial, baik tulisan maupun ucapan, seolah tidak dilirik oleh negara, karena diasumsikan masuk ranah privat seseorang pemeluk agama. Betul bid’ah adalah ranah agama, bukan sesuatu yang harus diurus oleh negara. Tetapi propaganda bid’ah itu yang membuat gelisah, mengganggu ketertiban, kenyamanan beragama umat Islam lainnya yang berbeda dengan mereka.
Sebenarnya apa yang jadi target mereka ? apakah ingin mengklaim diri mereka yang patut disebut muslim yang sebenarnya, dan yang lain tidak benar. Mengklaim kunci surga ada di tangan mereka dengan seringnya menuduh keliru dan salah atas praktik keagamaan yang berbeda dengan mereka. Mereka secara kuantitatif sangat kecil, tapi banyak secara kuantitatif dalam semburan hoax, kebencian, tuduhan bid’ah dan kesesatan. Ataukah umat Islam Indonesia yang bermazhab Ahli Sunnah wal Jama’ah dipaksa jadi salafiyun, dipaksa agar mengakui kebenaran ajaran manhaj salaf?.
Berawal dari mana bid’ah menjadi yang utama dari jargon keagamaannya ?, tentu kita cek hadits berikut ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Artinya: Jauhilah perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap yang baru adalah perbuatan bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan di dalam neraka.
Hadits di atas adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (urutan ke 4607 ), Imam Tirmidzi ( urutan hadits ke 2676 ), Imam Ibnu Majah (urutan ke 42 ), Ahmad ( juz 4 halaman 126-127) dan dishahihkan oleh Tirmidzi dan Al Hakim di dalam Al Mustadrak. Itu artinya hadits tersebut adalah hadits masyhur.
Berawal dari hadits di atas itulah kemudian kaum manhaj salaf mengambilnya sebagai ” Palu Godam ” untuk menolak dan menyesatkan amaliah agama umat Islam Ahli Sunnah wal Jama’ah yang kebetulan di Indonesia sudah menjadi tradisi yang baik dan benar. Tentu tuduhan tersebut bertolak belakang atas prinsip Ushul Fiqih yaitu.
تقديم المصلحة الراجحة اولى من تقديم المصلحة المرجوحة
Artinya: mendahulukan kemaslahatan yang sudah baku dan jadi tradisi itu lebih baik daripada kemaslahatan yang masih baru yang belum baku.
Lalu, bagaimana yang dimaksud bid’ah tersebut. Sehingga kini masih sibuk untuk dibicarakan. Dalam kitabnya al-Ta’rifat, Imam al-Jurjani menjelaskan.
البدعة هي الامر المحدث الذي لم يكن عليه الصحابة و التابعون و لم يكن مما اقتضاه الدليل الشرعي.
Artinya: Bid’ah itu adalah perkara atau sesuatu yang baru yang tidak dilakukan oleh para sahabat, para tabiin dan tidak pula dijadikan sebagai dalil syar’i.
Imam Hasan Al-Bashry rahimahullah dalam kitabnya Imam Ahmad al-Zuhdi seorang tabi’in yang terkenal, dan wafat 110 H telah berkata:
اِعْرِفُوا الْمُهَاجِرِيْنَ بِفَضْلِهِمْ، وَاتَّبِعُوْا آثاَرَهُمْ، وَإِيَّاكُمْ وَمَا أَحْدَثَ النَّاسُ فِي دِيْنِهِمْ، فَإِنَّ شَرَّ الأُمُوْرِ اْلمُحْدَثَاتُ.
Artinya: Kenalilah keutamaan-keutamaan kaum Muhajirin dan ikutilah jejak mereka, hati-hatilah kalian dari sesuatu baru yang dibuat-buat manusia di dalam agama mereka, karena sesungguhnya sejelek-jelek perkara adalah perkara-perkara baru di dalam agama.
Sedikit demi sedikit kita perlu pahami soal bid’ah, banyak pendapat soal tersebut dan sudah dijelaskan oleh ulama dari masa ke masa.
قال ابن العربي: ” ليست البدعة والمحدَث مذمومين للفظ بدعة ومحدث ولا معنييهما، وإنما يذم من البدعة ما يخالف السنة، ويذم من المحدثات ما دعا إلى الضلالة”.
Pendapat Imam Ibnu al-Arobi, bahwa tidak ada bid’ah dan yang baru disebut jelek baik lafadz dan artinya, dan karena sesungguhnya yang disebut bagian dari bid’ah adalah ajaran yang berbeda dengan ajaran Islam, dan disebut sesat apabila yang baru tersebut mengajak pada kesesatan.
Sementara Imam Nawawi RA, Imamnya madzhab Syafi’i menjelaskan dalam kitabnya Tahdzibu al-Asmai wa al-Lughot.
وقال النووي في كتاب تـهذيب الأسماء واللغات، مادة (ب د ع ) البدعة بكسر الباء في الشرع هي: إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله صلّى الله عليه وءاله وسلم، وهي منقسمة إلى حسنة وقبيحة
Imam Nawawi menjelaskan bahwa bid’ah menurut syari’at itu membuat baru apa yang tidak ada di zaman Rosulullah S.a.w. bid’ah juga terbagi menjadi bagus dan buruk.
Ini kalau kita pahami, bahwa yang tidak diajarkan Rosulullah s.a.w lalu kemudian dibuat buat seolah itu ajaran Rosulullah pengertianya adalah dalam hal syari’at lalu kemudian ditambahkan atau dikurangi, seperti ada ajaran yang mengajak agar berpuasa wajib tidak di bulan Ramadhan, tetapi di bulan yang lain. Ini yang jelas disebut bid’ah dlolalah.
Begitupun pandangan imam Abdul Aziz bin Abdul Salam dalam kitabnya al-Qowaid tentang bid’ah.
، قال الإِمام أبو محمّد عبد العزيز بن عبد السلام رحمه الله ورضي عنه في ءاخر كتاب القواعد: “البدعة منقسمة إلى واجبة ومحرّمة ومندوبة ومكروهة ومباحة. قال: والطريق في ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة، فإن دخلت في قواعد الإِيجاب فهي واجبة، أو في قواعد التحريم فمحرّمة، أو الندب فمندوبة، أو المكروه فمكروهة، أو المباح فمباحة”.
Bahwa bid’ah itu terbagi-bagi ada bid’ah yang wajib terjadi, ada bid’ah yang diharamkan, ada bid’ah yang disunnahkan, ada bid’ah yang dimakruhkan dan ada pula bid’ah yang dibolehkan. Karena itu lihat bid’ah yang bertolak pada kaidah syari’at, bila itu mengharuskan wajib maka bid’ah akan jadi wajib.
وزاد ابن حجر العسقلاني فقال: “ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام”. ومثله ما قاله ابن تيمية أيضاً والشاطبي -رحمهما الله- بأن البدعة هي “التي لم يدل عليها دليل شرعي، لا من كتاب ولا سنة ولا إجماع ولا قياس ولا استدلال معتبر عند أهل العلم، لا في الجملة ولا في التفصيل”.
Kemudian, Imam Ibnu Hajar al-Asqolani mengatakan bahwa ” sesuatu yang baru dan tidak ada dalil atasnya dari syari’at, dilihat dengan cara khusus bukan secara umum “. Pandangan Ibnu Hajar al-Asqolani ini mudah dipahami bahwa jika itu dikatakan bid’ah tentu harus melihatnya pada yang khusus,karena sesuatu yang baru tidak mewakili yang umum. Bahkan Ibnu Taimiyah pun yang oleh kaum manhaj Salaf dianggap imam besarnya sepakat atas pendapat Ibnu Hajar al-Asqolani tersebut.
أو ما قاله أبو العباس القرطبي بأن البدعة هي: “ما ابتدئ وافتتح من غير أصل شرعي”. وعبارة الأمير الصنعاني : “ما عمل من دون أن يسبق له شرعية من كتاب ولا سنة”.
Imam Qurtubi juga menjelaskan bahwa bid’ah itu diawali dan dibuka bukan dari pokok syari’at, artinya jika tidak ada hubungannya hal baru yang menyalahi syari’at maka tidak dihukumi bertentangan dengan syari’at. Tetapi sebaliknya jika hal baru tersebut berkaitan dengan syari’at lalu dibuat baru atau dibuat kurang maka dengan sendirinya disebut bid’ah dlolalah ( sesat ) seperti raka’at sholat dzohor yang sudah disyariatkan itu 4 raka’at dikurangi menjadi 3 atau 2. Bila itu terjadi maka kita sebut bid’ah.
Tetapi sesuatu baru yang tidak ada hubungannya dengan apa yang sudah ada dalam syariat, maka lihat ke khususnya, apa itu? Illat, syarat dan sebab. Jangan kemudian dijustifikasi secara umum sesuatu itu dianggap bid’ah dlolalah ( sesat ), padahal tidak sama sekali ada hubungannya merubah dan menambahkan ajaran.
KHM. Hamdan Suhaemi, Pengajar Pesantren Ashhabul Maimanah Sampang Susukan Tirtayasa Serang, Wakil Ketua PW GP Ansor Banten, Ketua PW Rijalul Ansor Banten, Sekretaris komisi Haub MUI Banten, Sekretaris Tsani Idaroh wustho Jam’iyah Ahlith Thoriqah Mu’tabaroh An-Nahdliyah Jatman Banten, Ketua FKUB Kab Serang, dan Anggota Dewan Pakar ICMI Provinsi Banten.