Penerapan kebijakan moneter di waktu dan strategi yang tepat akan dapat memberikan hasil yang baik pada kebangkitan ekonomi dari keterpurukan.
Quantitative Tightening vs Quantitative Easing
Setiap kebijakan keuangan di Amerika pasti berpengaruh ke negara lain, terutama negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Perekonomian tak lepas dari kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh bank sentral.
Ketika perekonomian lesu, di mana tingkat produksi menurun, tingkat pengangguran tinggi, daya beli masyarakat rendah, dan tingkat suku bunga pinjaman yang tinggi menciptakan krisis ekonomi baik di tingkat mikro maupun makro.
Jika kondisi krisis seperti ini dibiarkan atau tidak ditangani secara serius sehingga berlangsung terus-menerus, maka perekonomian suatu negara akan semakin terpuruk hingga mengalami keguncangan ekonomi pada level great depression.
Pada prinsipnya gejolak-gejolak dalam perekonomian suatu negara wajar terjadi, karena dipengaruhi oleh banyak faktor eksternal, seperti kondisi dan mekanisme pasar serta kebijakan ekonomi negara lain.
Gejolak-gejolak tersebut justru menjadi barometer kekuatan perekonomian setiap negara. Sebab itulah diperlukan adanya kebijakan-kebijakan moneter yang mampu mempertahankan kondisi ekonomi agar tetap stabil.
Pada tahun 2008, perekonomian Amerika Serikat mengalami krisis yang disebabkan oleh penurunan tingkat konsumsi dalam negeri, lesunya sektor properti, dan angka pengangguran yang tinggi.
Krisis ekonomi tersebut mengakibatkan perekonomian negara adidaya tersebut tumbang. Untuk mengatasinya, The Fed selaku bank sentral yang memegang otoritas keuangan tertinggi mengambil kebijakan Quantitative Easing atau pelonggaran kuantitatif.
Kebijakan Quantitative Easing diterapkan sebanyak 3 kali dalam kurun waktu tahun 2008 hingga 2012. Pada penerapan tahap pertama yakni periode November 2008 hingga Maret 2010, The Fed mengucurkan dana hingga $1.650 triliun untuk membeli surat-surat berharga jangka panjang.
Selanjutnya pada tahap kedua yaitu periode November 2010 hingga Juni 2011, The Fed kembali menggelontorkan dana sebesar $600 miliar guna membeli surat utang baik dari pemerintah maupun swasta.
Sementara pada tahap terakhir di periode September 2012, The Fed kembali membeli surat utang dengan mengucurkan dana sebesar $85 miliar.
Penerapan kebijakan moneter Quantitative Easing terbukti mampu memulihkan kondisi ekonomi Amerika Serikat yang secara perlahan bangkit dari keterpurukan.
Angka pengangguran menurun, sektor properti kembali terdongkrak, dan konsumsi serta investasi dalam negeri mengalami peningkatan. Pemulihan ekonomi Amerika Serikat akibat krisis mulai stabil pada tahun 2013.
Namun, akibat dari pembelian surat utang secara masif pada kurun waktu tahun 2008 hingga 2012 mengakibatkan neraca bank sentral ‘membengkak’.
Neraca yang berlebihan ini berdampak pada kinerja bank sentral sendiri, di mana kemampuan bank sentral untuk mengelola dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya resesi ekonomi di masa mendatang menjadi terbatas.
Sebab itulah, The Fed berencana mengecilkan atau mengurangi neraca hingga mencapai ukuran yang lebih mudah dikelola, sehingga dapat kembali diperluas atau diperbesar saat terjadi resesi di masa mendatang.
Maka dari itu, The Fed memutuskan untuk menghentikan pembelian suart utang atau obligasi dan mengurangi neraca dengan menerapkan kebijakan moneter baru yakni Quantitative Tightening atau pengetatan kuantitatif.
Kebijakan moneter Quantitative Tightening mulai diterapkan pada tahun 2014. The Fed mulai melakukan kebalikan dari kebijakan moneter yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu Quantitative Easing. Dari pelonggaran menjadi pengetatan.
Lantas, apa upaya yang dilakukan The Fed dalam penerapan kebijakan Quantitave Tightening? Ada beberapa upaya yang dilakukan, yakni:
Menghentikan pembelian obligasi
Untuk memperkecil ukuran neracanya, The Fed mulai melaksanakan program penghentian pembelian obligasi pada tahun 2014 hingga mencapai 0 (nol), yang berarti tidak melakukan pembelian obligasi sama sekali.
Hal ini mengindikasikan tidak ada lagi pencetakan uang yang digelontorkan sebagai stimulus kepada pemerintah maupun swasta melalui pembelian obligasi. Artinya, tidak ada lagi jumlah uang beredar yang ditambahkan ke publik.
Membiarkan obligasi lama hingga jatuh tempo
Obligasi lama yang telah dibeli selama tahun 2008 hingga 2013 dibiarkan mengendap hingga matang atau tiba waktunya jatuh tempo. Saat jatuh tempo, maka The Fed menerima pengembalian uang tunai dari para pihak yang menjual obligasi, yakni pemerintah dan swasta.
Uang tunai tersebut kemudian ditahan dan tidak digunakan untuk berinvestasi kembali melalui pembelian obligasi baru. Uang yang tidak diinvestasikan lagi akan lenyap begitu saja, sehingga neraca keuangan bank sentral mengalami penyusutan atau mengecil dari ukuran sebelumnya.
Menjual obligasi dan surat-surat berharga
Upaya lain yang dilakukan The Fed untuk mengurangi ukuran neracanya adalah dengan menjual obligasi dan surat-surat berharganya. Penjualan surat-surat berharga dan obligasi tersebut tentu dapat mengurangi neraca. Tujuan dari penjualan ini adalah untuk menurunkan harga obligasi sehingga mampu menarik minat pembeli.
Menaikkan suku bunga
Normalisasi neraca The Fed juga dilakukan dengan menaikkan suku bunga. Dengan suku bunga yang lebih tinggi, tingkat pengembalian pinjaman akan semakin tinggi pula. Artinya, jumlah uang beredar di masyarakat menjadi lebih terkendali.
Selain itu, dengan naiknya tingkat suku bunga, maka pengajuan pinjaman pada bank-bank komersial menjadi berkurang sehingga jumlah uang beredar di masyarakat juga akan berkurang.
Inilah yg disebut Tapering
Tapering ini dilakukan setelah sebelumnya bank sentral melakukan penurunan suku bunga untuk mengantisipasi perekonomian ke depan. Setelahnya, bank sentral akan melakukan ‘pencetakan uang’ dengan membeli US treasury hingga mencapai US$ 120 miliar per bulannya.
Lalu, seiring dengan terjadinya pemulihan ekonomi maka bank sentral akan mulai mengurangi pembelian surat utang. Inilah yang disebut taper tantrum.
Apabila hal tersebut terjadi, maka aliran modal dari AS akan keluar dari negara emerging market dan kembali ke AS. Artinya tapering off atau pengurangan stimulus tersebut dapat membuat aliran modal keluar dari Indonesia. Hal ini tentu dapat memicu gejolak pasar keuangan.
Kalau berkaca pada 2013 silam, dampak tapering memang mengerikan karena mengguncang pasar finansial. Imbal hasil (yield) SUN naik, indeks saham rontok dan nilai tukar rupiah terus terdepresiasi terhadap dolar AS.
Pada saat Quantitative Tightening akan berdampak terhadap Negara berkembang, keadaan akan berubah. Uang dollar kembali ke negaranya, dollar semakin berkurang di pasaran yg akan mengakibatkan:
Bursa saham mengalami perlambatan.
Bank sentral amerika akan sedikit demi sedikit menaikkan suku bunga. Akibatnya arus investasi berubah, investor akan memindahkan uangnya dari negara berkembang ke Amerika. Karena imbal investasi mulai bagus dan dirasa lebih aman, uang panas di bursa saham negara berkembang akan ditarik kembali ke Amerika.
Sudden Dollar Surge.
Dengan kembalinya uang dollar ke asalnya, tentu saja membuat dollar di negara berkembang menjadi berkurang. Sesuai hukum pasar, karena dollar terbatas, maka harganya akan naik.
Cadangan Devisa Berkurang
Bank sentral di negara berkembang akan berusaha untuk membatasi penguatan dollar agar tidak terlalu tinggi. Akibatnya cadangan devisa akan berkurang banyak untuk menstabilkan harga dollar.
Suku Bunga Naik
Untuk menahan melemahnya mata uang lokal terhadap dollar, akibat keluarnya dollar, bank sentral negara berkembang akan menaikkan suku bunga.
Perlambatan Ekonomi
Akibat dollar naik, suku bunga naik, dan berbagai sebab lainnya, ekonomi negara berkembang akan melambat. Ada suatu hal yang agak melegakan walau The Fed melakukan tapering seperti yang sudah disampaikan di atas, Indonesia lebih siap.
Yaitu dengan bukti setelah bos The Fed Jerome Powell mengumumkan adanya tapering ,harga saham domestik justru menguat dan asing masih lanjut belanja saham di dalam negeri.
Lagipula strategi komunikasi the Fed juga jauh lebih jelas untuk agenda tapering saat ini, berbeda dengan zaman Ben Bernanke tahun 2013 silam. Kala itu tepatnya di bulan Juni, tak ada angin tak ada hujan, The Fed mulai mewacanakan tapering. Pasar yang kaget akhirnya merespons negatif wacana tersebut.
Ditambah lagi pendekatan the Fed yang terukur untuk mengurangi likuiditas dengan laju US$ 15 miliar juga sudah jauh-jauh hari diantipasi pasar. Jadi memang tak ada surprise yang bisa membuat pasar bergejolak.
Akan tetapi sekuat apapun perekonomian suatu negara, bisa jadi memiliki titik lemah. Ketika titik lemah tersebut terhantam, mau tidak mau atau siap tidak siap negara tersebut akan mengalami kelesuan dan kemerosotan yang disebut dengan resesi ekonomi.
Sebab itulah, penting bagi Negara Indonesia memantau laju pertumbuhan ekonominya per kuartal, agar dapat segera diambil kebijakan ekonomi yang mampu mengantisipasi bahkan mengatasi jika ditemukan adanya masalah.
Secara sederhana resesi ekonomi dapat dipahami sebagai kelesuan ekonomi. Mengutip dari Wikipedia, resesi diartikan sebagai kondisi di mana produk domestik bruto (GDP) mengalami penurunan atau pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal secara berturut-turut atau lebih dari satu tahun.
Sesuai dengan namanya yang berarti kelesuan atau kemerosotan, resesi mengakibatkan penurunan secara simultan pada setiap aktivitas di sektor ekonomi. Sebut saja lapangan kerja, investasi, dan juga keuntungan perusahaan.
Terjadinya resesi ekonomi menimbulkan efek domino pada masing-masing kegiatan ekonomi tersebut. Ketika investasi mengalami penurunan, maka tingkat produksi atas produk atau komoditas juga akan menurun.
Melihat kondisi ekonomi Indonesia saat ini, banyak pengamat ekonomi yang memprediksi bahwa Indonesia juga sedang mengarah pada resesi. Nilai impor yang lebih besar dibandingkan ekspor, harga-harga barang komoditas yang semakin mahal, biaya listrik, bahan bakar minyak, dan pajak yang juga tak mau kalah melonjak tajam. Indikator-indikator inilah yang dijadikan sebagai dasar prediksi bahwa Indonesia telah mulai memasuki gerbang resesi ekonomi.
Selain itu, tingkat daya beli masyarakat Indonesia saat ini juga menurun. Dalam ekonomi makro tidak asing lagi dengan istilah GDP dan GNP. GDP (Gross Domestic Product) dan GNP (Gross National Product) merupakan indikator-indikator ekonomi yang digunakan untuk menghitung pendapatan nasional suatu negara. Meski dari akronimnya tampak mirip, namun keduanya memiliki makna dan cakupan yang berbeda.
GDP (Gross Domestic Product) atau Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan ukuran moneter dari nilai pasar keseluruhan produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi dalam suatu negara selama satu tahun. Sementara GNP (Gross National Product) atau Produk Nasional Bruto (PNB) secara sederhana dapat dipahami sebagai nilai pasar keseluruhan produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negara baik di dalam maupun di luar negeri dalam satu tahun.
Sebagai ukuran moneter, GDP mengacu pada jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di suatu negara dalam satu tahun. Artinya, GDP mencakup total pendapatan yang diperoleh secara nasional, baik yang dihasilkan oleh warga negaranya sendiri maupun warga negara asing yang tinggal di dalam negeri atau di negara tersebut. Sementara GNP mengacu pada jumlah nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negaranya baik yang tinggal di dalam maupun di luar negeri dalam satu tahun.
Sederhananya, GDP menghitung total pendapatan negara dari lingkup batas wilayah, sedangkan GNP menghitung total pendapatan negara dari lingkup warga negara. GDP tidak memperhitungkan pendapatan dari warga negaranya yang tinggal atau berdomisili di luar negeri, tetapi dari warga negara asing yang tinggal di dalam negeri. Sebaliknya, GNP memperhitungkan total pendapatan yang diperoleh hanya dari warga negaranya saja baik yang tinggal di dalam maupun di luar negeri, dan tidak memperhitungkan pendapatan warga negara asing yang tinggal di dalam negeri.
Bersambung
Oleh : Haidar Alwi, (Presiden HAC dan HAI, Penasihat Forkom Alawiyin/khabaib)