Makkah, LIPUTAN 9 NEWS
Rombongan 8 Kloter 25 rutin mengadakan kajian Fiqih Haji di Mushalla Hotel. Untuk tema kajian pada pertemuan ke-2 hari Selasa 12 Juli 2022, badal thowaf Ifadhoh, mungkinkah? Setelah jama’ah haji selesai mabit di Mina untuk melakukan lempar 3 jamarat dengan sempurna, balik lagi ke hotel melanjutkan melaksanakan Thowaf Iffadlah. Babyak jama’ah minta dijelaskan hal-hal terkait thowaf Ifadlah, termasuk pertanyaan bagaimana kalau thawaf ifadahnya dibadalkan karena berbagai alasan? Bukankah ketika melempar jamarat, kalau ada udzur juga bisa dibadalkan?
Fatwa MUI tentang Badal Thawaf Ifadhah
Mengenai Badal Thawaf Ifadhah, MUI menjelaskan, bahwa thawaf ifadhah merupakan salah satu rukun haji yang harus dilaksanakan orang yang berhaji agar sah ibadah hajinya. Namun, dalam prakteknya, ada orang yang berhaji, pada waktu pelaksanaan ibadah haji terkena musibah sakit, sehingga tidak memungkinkan untuk melaksanakan Thawaf Ifadhah, sementara pelaksanaan Thawaf Ifadhah dengan bantuan orang lain juga mengalami kendala.
Perlu diketahui, Badal Thawaf Ifadhah adalah pelaksanaan thawaf ifadhah yang merupakan rukun haji yang dilakukan orang lain utuk menggantikan seseorang yang sedang berhaji karena sakit atau sebab lain. Dalam kasus ini, muncul pertanyaan dari Kementerian Agama RI terkait hukum membadalkan thawaf ifadhah bagi jama’ah sakit, serta bagaimana jalan keluar yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Untuk itu diperlukan fatwa tentang hukum badal thawaf ifadhah guna dijadikan pedoman.
Menurut fatwa MUI, ada beberapa ketentuan hukum terkait Thawaf Ifadhah. Seseorang yang berhaji tetapi tidak melaksanalkan thawaf ifadhah, hajinya tidak sah. Adapun Badal thawaf ifadhah (pelaksanaan thawaf ifadhah oleh orang lain) adalah tidak sah.
Jamaah haji yang sakit dan tidak memungkinkan untuk melaksanakan Thawaf Ifadhah sendiri dapat menggunakan alat bantu. Jamaah haji yang sakit – yang menurut dokter dinyatakan belum memungkinkan untuk melaksanakan thawaf ifadhah, baik sendiri maupun alat bantu – pelaksanaan thawaf ifadhahnya menunggu hingga kondisi memungkinkan. Jamaah haji yang meninggal sebelum melaksanakan thawaf ifadhah tidak terkena kewajiban badal thawaf ifadhah (pengganti pelaksanaan thawaf ifadhah oleh orang lain).
Untuk itu, MUI merekomendasikan, penyelenggaraan ibadah haji (pemerintah dan swasta) diminta menyediakan sarana dan prasarana untuk membantu pelaksanaan thawaf ifadhah bagi jamaah yang tidak memungkinkan melaksanakannya sendiri.
Kementerian Agama RI diminta menjamin pemenuhan layanan jamaah haji, terutama pelaksanaan rukun-rukunnya, termasuk merumuskan kebijakan tanazul bagi jamaah haji sakit sampai dapat melaksanakan thawaf ifadhah. Kementerian Agama RI juga diharapkan meminta Pemerintah Arab Saudi untuk memberikan kemudahan bagi jamaah haji yang sakit untuk melaksanakan thawaf ifadhah sebagai salah satu rukun haji, termasuk dengan alat bantu dan sarana/prasarana pendukung.
Badal Thawaf Ifadhah Dalam Pandangan Ulama Mazhab
Pada dasarnya Thawaf Ifadhah adalah rukun haji yang tidak boleh dibadalkan, namun menurut Imam Shehabudin Al-Romli boleh dilakukan badal thawaf Ifadhah dengan syarat orang yang dibadalkan dalam kondisi ma’dhub ( orang sakit berat yang secara medis tidak mungkin sembuh ) dan harus meninggalkan Makkah.
Atho’ bin Abi Rabah: “Ibnu Mundzir’ berkata, Fuqoha sepakat (ijma’) boleh membantu anak kecil untuk melakukan thawaf sendiri dan sah thawafnya dan mereka juga sepakat boleh membantu orang sakit untuk melakukan thawaf sendiri dan sah thawafnya, kecuali atha’ ibn Abi Rabah, menurutnya ada dua pendapat: boleh membantu mereka untuk thawaf sendiri dan boleh juga membayar melakukan thawafnya (badal)”.
Fatwa al Ramli: “ Imam al-Ramli ditanya tentang seseorang yang menunaikan haji, kemudian meninggalkan thawaf ifadhahnya hingga ia pulang ke mesir. Kemudian kondisinya menjadi lemah. Apakah baginya boleh mewakilkan thawaf atau amalan lain baik rukun atau wajib haji ? lalu ia menjawab “Sesungguhnya orang tersbut boleh mewakilkan thawafnya kepada orang lain dan bahkan wajib. Karena jika membadalkan seluruh manasik haji dibolehkan, membadalkan sebagian itu lebih utama.
Fatwa al-Azhar dengan mengutip pendapat Atha’ bin Abi Rabah “Dalam masalah badal ifadhah terdapat pendapat Atha’ bin Abi Rabah yang membolehkan badal thawaf dengan diqiyaskan pada badal amalan haji secara keseluruhan. Badal sebagian dari rukun dan wajib haji adalah boleh dan lebih utama“.
Fatwa Jadul Haq, “Jemaah perempuan yang tiba-tiba haid sebelum thawaf ifadhah dan tidak mungkin tinggal di Makkah sampai waktu berhentinya haid, ia boleh mewakilkan thawafnya kepada orang lain, setelah orang tersebut melakukan thowaf untuk dirinya sendiri. Orang tersebut niat thowaf untuknya (perempuan) mewakili secara langsung thowafnya dengan segala syaratnya atau perempuan itu minum obat agar haidnya segera berhenti, kemudian mandi dan melaksanakan thowafnya”.
Mendapati Haid Ketika Thawaf Ifadhah
Apa yang mesti dilakukan jama’ah haji wanita ketika ia mendapati haid saat ingin melakukan Thawaf Ifadhah? Seandainya ingin menunggu sampai suci, padahal ia harus bergegas pulang ke tanah air dan sulit kembali untuk menunaikan thawaf? Padahal thawaf itu diharuskan suci menurut jumhur ulama. Tidak mungkin jama’ah haji wanita ini ditinggalkan di kota Mekkah supaya ia menunaikan thawaf yang merupakan rukun haji tersebut sehingga tertinggal dari jama’ah lainnya.
Wanita Haid Saat Haji
Jika wanita telah berihram untuk haji lalu haid, ia tetap berihram sebagaimana yang lainnya. Ia melakukan semua amalan haji, mulai dari tanggal 8 Dzulhijjah dengan melaksanakan sunnah mabit di Mina, tanggal 9 wukuf di Arafah, lalu dilanjutkan dengan mabit di Muzdalifah, dan melempar jumrah pada hari ke-10, 11, 12, atau 13 Dzulhijjah. Yang tidak boleh dilakukan wanita haid hanyalah thawaf mengelilingi Ka’bah 7 x putaran, di samping itu, wanita haid tidak boleh melakukan ibadah yang umum seperti shalat, puasa, dan menyentuh mushaf. Ketika ‘Aisyah haid saat haji, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى
“Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.” (HR. al-Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211).
Sedangkan untuk thawaf wada’, wanita haid mendapatkan keringanan untuk meninggalkannya. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ ، إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْحَائِضِ
Artinya: “Manusia diperintahkan menjadikan akhir amalan hajinya adalah di Baitullah (dengan thawaf wada’) kecuali hal ini diberi keringanan bagi wanita haidh.” (HR. al-Bukhari no. 1755 dan Muslim no. 1328).
Mendapati Haid Saat Melakukan Thawaf Ifadhah
Sudah maklum bahwa thawaf Ifadhah termasuk rukun haji. Perintah melakukan thawaf ifadhah disebutkan dalam ayat,
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29).
Yang dimaksud ayat ini adalah thawaf wajib yaitu thawaf Ifadhah. Karena perintah dalam ayat ini disebutkan setelah perintah menyembelih. Menyembelih baru dilaksanakan pada hari Idul Adha. Jika termasuk rukun haji, thawaf yang satu ini tidak dilakukan, hajinya tidak sah.
Masalahnya jika saat melakukan thawaf ifadhah ini datang menstruasi. Apa yang mesti dilakukan? Kalau mesti menunda sampai suci, bisa jadi ia terlambat pulang ke tanah air dan tidak mungkin menyuruh ia menunggu di Mekkah sementara rombongannya telah pulang ke tanah air. Tdak mungkin lagi kembali untuk menunaikan Thawaf tersebut. Beda halnya jika seorang wanita bermukim di jazirah Arab, ia bisa dengan mudah kembali ke tanah suci untuk menyempurnakan thawaf ifadhah.
Perlu dipahami terlebih dahulu:
- Para ulama sepakat bahwa thawaf asalnya adalah dengan berthoharoh (bersuci). Tidak boleh wanita haidh berthawaf padahal ia mampu nantinya berthawaf setelah ia suci.
- Para ulama sepakat bahwa thawaf qudum (thawaf yang disyari’atkan bagi orang yang datang dari luar Makkah sebagai penghormatan kepada Baitullah Ka’bah) dan thawaf wada’ (thawaf ketika meninggalkan Makkah) tidak wajib bagi wanita haidh.
- Para ulama sepakat bahwa wanita haidh dianjurkan untuk menunggu hingga suci ketika ia mendapati haidh sebelum melakukan thawaf ifadhah. Ketika ia suci barulah melakukan thawaf dan boleh meninggalkan Makkah (Lihat Al Nawazil fil Hajj, 310-311).
Para ulama berselisih pendapat dalam hal jika wanita haidh harus meninggalkan Makkah dan belum melaksanakan thawaf Ifadhah (yang merupakan rukun haji) dan tidak bisa lagi kembali ke Makkah, apakah ia boleh thawaf dalam keadaan haidh? Apakah sah?
Yang tepat dalam kondisi wanita haidh seperti ini, boleh thawaf dalam keadaan haidh meskipun disyaratkan mesti harus suci (thoharoh) ketika thawaf. Di antara alasannya, jika thoharoh adalah syarat thawaf, dianalogikan (qiyaskan) seperti keadaan shalat. Syarat shalat jadi gugur jika dalam keadaan tidak mampu (‘ajez). Seperti kita dalam keadaan sakit dan tidak mampu berwudhu dan tayamum, tetap harus shalat meskipun dalam keadaan hadats. Hal ini sama pula dengan thawaf. Lihat Al-Nawazil fil Hajj, hal. 311-321.
Ibn ul-Qayyim mengatakan dalam I’lamul Muwaqi’in, “Sesungguhnya perkataan dan fatwa para ulama yang menyaratkan dan membuat ketetapan wajib itu diterapkan jika keadaan mampu dan punya kelapangan, bukan ketika keadaan darurat dan tidak mampu. Fatwa dan perkataan para ulama tidaklah bertentangan dengan dalil syar’i. Seorang mufti biasa mengaitkan antara syari’at dengan kaedah dan ushul syari’at, begitu pula kalam ulama dikaitkan dengan kaedah dan ushul mereka. Jadi mufti ketika mengeluarkan fatwa sesuai dengan pokok dan kaedah syari’at, juga kaedah para ulama. Wa billahit taufiq.”
Demikian bahasan singkat di siang ini, moga bermanfaat. Untuk melengkapi kajian ini, baca tulisan saya, Menstruasi dalam Perspektif Hadis, sbb.:
Prof. Dr. KH. Fuad Thohari, MA., adalah Ketua Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) dan seorang pendakwah juga akademisi yang bergelut dalam bidang Tafisr dan Hadist. Setelah menimba ilmu di Ponpes Salaf Al – Falah, Ploso, Kediri, Jawa Timur, beliau kemudian menempuh pendidikan perguruan tinggi hingga s3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam bidang Tafsir Hadist.
Alumni Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI ini merupakan dosen di Sekolah Pascasarjana almamaternya dan mengisi berbagai kajian keagamaan di masjid, majlis taklim, seminar ilmiah, stasiun televisi dan radio di wilayah Jabodetabek. Di tengah padatnya kegiatan tersebut, beliau juga aktif terlibat dalam organisasi keagamaan Majelis Ulama’ Indonesia wilayah DKI Jakarta dalam bidang fatwa, dan aktif di Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama’ PBNU.
Memiliki sejumlah karya yang dapat dilihat di http://penerbitbukudeepublish.com/penulis/fuad-thohari/ dan beberapa judul di bawah ini; 1. Hadis ahkam; kajian hukum pidana islam 2. Kumpulan Fatwa MUI DKI jkt 2000 sd 2018…(5 buku). 3. Manasik Haji dan Umroh 4. Metode Penetapan Fatwa bagi Da’i 5. Artikel jurnal nasional (puluhan judul) 6. Deradikalisasi Pemahaman al Qur”an dan Hadis 7. Khutbah Islam tentang Terorisme 8. talkshow di TV nasional, Radio, dll. Selain itu, beliau pernah melakukan penelitian di berbagai negara, antara lain; Malaysia, Singapore, Thailand, India, China, Mesir, Palestina, Yordania, Iran , Turki, Saudi Arabia, Tunisia, dll. Beliau bisa dihubungi langsung via WA (081387309950)