Seorang teman berkata, bahwa saat ini di Indonesia tengah terjadi kebangkitan konservatisme keagamaan dan Islam Politik. Saya jawab, jika kebangkitan konservatisme yang kau maksud adalah konservatisme keagamaan sebagaimana yang saya pahami seperti Revolusi Islam Iran, itu malah bagus, dan yang kedua, soal Islam Politik, bagi saya tidak ada Politik Islam di Indonesia, yang ada di Indonesia adalah politisasi Islam seperti yang dulu dikhawatirkan Cak Nur sampai-sampai mengeluarkan kredo: Islam Yes, Partai Islam No! Karena dalam pemahaman saya, Cak Nur melihat di Indonesia itu memang yang ada dan terjadi adalah upaya dan usaha yang tak pernah berhenti untuk mempolitisasi agama demi kepentingan sekuler.
Jawaban saya kepada seorang teman itu karena bagi saya yang dimaksud Islam Politik itu yah seperti Revolusi Islam Iran 1979 yang jelas ideologi, argumen dan tujuan-nya: semangat keagamaan yang mencerahkan dengan tujuan memerdekakan manusia dari tirani dan penindasan serta ketakbebasan yang akan menghilangkan jati diri kemanusiaannya sebagai pribadi dan manusia, bukan agama yang memperbudak dan menjadi alat tirani. Sebenarnya saya kecewa juga kepada para sarjana lulusan Barat yang mengimani secara ideologis, dan lalu menulis bahwa politik Islam itu buruk. Mereka sepertinya tidak memahami bahwa politik yang diajarkan Islam itu ajaran, nilai, dan gerakan yang bertujuan mencerahkan dan memerdekakan manusia.
Para sarjana itu bagi saya ‘korban’ pabrikasi (pencetakan dan penyamaan) oleh dogmatisme akademik universitas atau perguruan tinggi yang kepentingan utamanya adalah terpenuhinya capaian yang ingin didapatkan kapitalisme: pemetaan demi tujuan strategis politik global. Istilah-istilah seperti Islamisme dan Fundamentalisme diciptakan dalam rangka ‘memudahkan’ pemetaan demi tujuan strategis yang sama. Dalam hal ini, para sarjana Barat atau para sarjana non-Barat yang lulusan perguruan tinggi atau universitas di Barat memaksudkan Islamisme sebagai komunitas atau gerakan sebagian kaum muslim yang mereka identifikasi sebagai kelompok atau kaum yang memiliki ciri-ciri apa yang mereka sebut sebagai Islam Politik. Segaris dengan ini, sebagai contoh, Revolusi Islam Iran 1979, mereka anggap sebagai Fundamentalisme dan Islamisme, yang sayangnya mereka samakan dengan Wahabisme dalam cakupan istilah dan definisi yang sama. Padahal, Islam di Iran dan Wahabisme seumpama perbedaan antara terang dan gelap.
Political Science karena didesak kebutuhan pemetaan yang demikian, pada akhirnya tak sanggup menghindarkan diri dari reduksi dan generalisasi. Yang pertama adalah praktik kekerasan memasukkan sesuatu yang tak sama dan tidak tepat bersama-sama dengan sesuatu yang lainnya, dan yang kedua melakukan penyimpulan berdasarkan kasus sebagai kebenaran universal atau kebenaran umum. Sebagai contoh, para sarjana umumnya menggunakan istilah Islam Sunni yang di dalamnya mencakup pula sekte Wahabi (yang mana Wahabi ditolak para ulama Sunni se-Dunia sebagai bagian dari mereka) dan tidak diakui sebagai bagian dari Mazhab Islam oleh ulama se-Dunia ketika mereka memetakan mazhab Islam demi membedakannya dengan Islam Syi’ah.
Barangkali saja, ketika ada sejumlah sarjana lulusan Barat menyatakan Islam Politik dan Politik Islam di Indonesia semisal kelompok yang menyuarakan gerakan khilafah itu, maka itu hanya kulit luar saja. Karena mereka yang menyuarakan pendirian khilafah itu adalah kaum dan golongan yang dibajak dan menjadi korban indoktrinasi kelompok Islam Proksi yang garis kepentingannya adalah tujuan politik global Barat (Amerika dkk) yang memiliki motif dan kepentingan menyebarkan ekstrimisme melalui elite-elite yang mereka kendalikan dan mereka bayar. Maka tak heran, ketika sejumlah elite monarkhi Saudi Arabia, misalnya, sempat menyatakan bahwa mereka menyabarkan doktrin dan ideologi Wahabi mereka ke seluruh dunia atas permintaan Barat (Amerika dkk). Maka sebut saja yang demikian sebagai Pseudo Islam Politik atau Islam Politik Gadungan (palsu).
Hal demikian terbukti dengan kasus ISIS, ketika kaum muslim ekstrim dan yang termakan isu pendirian khilafah, banyak yang menjadi begundal ISIS. Sementara elite-elite dan pemimpin ISIS itu sendiri dikendalikan dan ‘dibayar’ oleh Amerika, Israel dkk. Mereka yang kemudian menjadi para begundal ISIS itu, contohnya, adalah mereka yang menjadi korban kampanye-kampanye takfir (pengkafiran) terhadap sesama muslim, misalnya kepada Islam Syi’ah. Mereka-mereka yang termakan isu murahan (fitnah) bahwa konflik dan Perang Suriah adalah perang Sunni dan Syi’ah seperti yang dihembuskan oleh Bachtiar Nasir dkk.
Singkat kata, istilah-istilah dan definisi-definisi yang digunakan dalam diskursus dan penulisan di ranah ilmu sosial termasuk political science atau dalam sains sekalipun memang berguna demi pemetaan dan ‘penyederhanaan’, namun bukan berarti merepresentasikan kebenaran dan validitas. Malah seringkali merupakan reduksi semata, untuk tidak dikatakan ‘praktik kebohongan’ demi kepentingan politis dan strategis atas nama sains dan diskursus akademik.
Oleh: Sulaiman Djaya, Pengurus Majelis Kebudayaan Banten